MAKALAH
BANI UMAYYAH
Guna Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sejarah & Peradaban Islam
DOSEN : Moh. Farhan, S.Pd, S.Hum, M. Pd
NAMA KELOMPOK
MOHAMMAD NURUL HUDA (31501502244)
MUHAMMAD SHIDIQ EFENDY (31501502247)
MUHAMMAD ALFIN (31501502250)
M. MA’RUF (31501502251)
PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
JURUSAN TARBIYAH
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
Puji dan syukur kami haturkan
kehadirat ilahi robbi yang telah melimpahkan kesehatan kepada kami sehingga
bisa melaksanakan kewajibanmu sehari-hari termasuk salah satunya adalah mencari
ilmu.
sholawat serta salam kami haturkan
kepada nabi muhammad saw, semoga kita semua mendapatkan syafa’atnya kelak di
hari kiamat nanti.
dengan ini kami ucapkan terima kasih
kepada bapak dosen yang telah membimbing kami untuk menyelesaikan makalah ini,
sehingga selesailah makalah ini , meskipun saya yakin masih banyak kesalahan
dan jauh dari kata sempurna, maka dari itulah saya meminta saran dan kritikan
bapak dosen agar bisa menyusun makalah dengan baik dan benar,semoga kita semua
mendapatkan ilmu yang manfaat dan barokah, amiin.
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Proses
perpindahan periode kekuasaan dari Ali bin Abi Thalib (khalifah rasyidin ke-4)
kepada Daulah Bani Umaiyah ini dicatat sejarah sarat “makna” dan “intriks”
sehingga patut dicermati dan dikaji lebih mendalam. Tidak hanya itu, pergulatan
politik yang terjadi pada awal berdiri Daulah Bani Umayyah hingga perkembangan
dan perubahan sistem khilafah menjadi
daulah sangat menarik untuk ditelaah.
(rangkuman).
Berakhirnya kekuasaan khalifah Ali bin Abi Thalib mengakibatkan lahirnya
kekuasan yang berpola Dinasti atau kerajaan. Pola kepemimpinan sebelumnya
(khalifah Ali) yang masih menerapkan pola keteladanan Nabi Muhammad, yaitu
pemilihan khalifah dengan proses musyawarah akan terasa berbeda ketika memasuki
pola kepemimpinan dinasti-dinasti yang berkembang sesudahnya.
Meskipun begitu, munculnya Dinasti Umayyah memberikan babak baru
dalam kemajuan peradaban Islam, hal itu dibuktikan dengan
sumbangan-sumbangannya dalam perluasan wilayah, kemajuan pendidikan, kebudayaan
dan lain sebagainya, Daulah Bani Umayyah yang berkuasa lebih kurang selama 90
tahun (40-132H/661-750M),. Banyak kemajuan yang telah tergores dalam peradaban
Islam oleh Daulah Bani Umayyah, di antaranya bidang Politik, Pemerintahan,
Militer, Ekonomi (perdagangan), Sosial Kemasyarakatan, Pendidikan (Iptek),
Kesenian, Pemikiran, Filsafat, serta Pemahaman Keagamaan
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, ada empat rumusan masalah sebagai berikut:
1.
Bagaimana
sejarah berdirinya sejarah Bani Umayyah?
2.
Bagaimana
sistem pemerintahan dan Siapa sajakah khalifah-khalifah Bani Umayyah?
3.
Bagaimana
ekspansi wilayah dalam bani umayyah
4.
Bagaimana
masa kemajuan Bani Umayyah?
5.
Bagaimana
masa kemunduran Bani Umayyah?
BAB II
PEMBAHASAN
A. SEJARAH BERDIRINYA SEJARAH BANI UMAYYAH
Nama
Dinasti Umayyah dinisbatkan kepada Umayyah bin Abd Syams bin Abdu Manaf. Ia adalah salah
seorang tokoh penting di tengah Quraisy pada masa Jahiliyyah. Ia dan pamannya
Hasyim bin Abdu Manaf selalu bertarung dalam memperebutkan kekuasaan dan
kedudukan.
Dinasti Umayyah didirikan oleh Muawiyyah bin Abu
Sufyan bin Harb. Muawiyyah sebagai pendiri daulah Bani Abbasiyyah juga
sekaligus menjadi khalifah pertama. Ia memindahkan ibukota kekuasaan Islam dari
Kuffah ke Damaskus.
Muawiyyah dipandang sebagai pembangun Dinasti yang
oleh sebagian besar sejarawan awalnya dipandang negatif. Keberhasilannya
memperoleh legalitas atas kekuasaannya dalam perang saudara di Siffin dicapai
melalui cara yang curang. Lebih dari itu, Muawiyyah juga dituduh sebagai
pengkhianat prinsip-prinsip demokrasi yang diajarkan Islam, karena dialah yang
mula-mula mengubah pimpinan negara dari seorang yang dipilih oleh rakyat
menjadi kekuasaan raja yang diwariskan turun-temurun (monarchy heredity).
Diatas
segala-galanya jika dilihat dari sikap dan prestasi politiknya yang
menakjubkan, sesungguhnya Muawiyyah adalah seorang pribadiyang sempurna dan
pemimpin besar yang berbakat. Didalam dirinya terkumpul sifat-sifat seorang penguasa
Politikus, dan Administrator.
Muawiyyah tumbuh sebagai pemimpin karier. Pengalaman
politik telah memperkaya dirinya dengan kebijaksanaan-kebijaksanaan dalam
memerintah, mulai dari menjadi salah seorang pemimpin pasukan di bawah komando
Paglima Abu Ubaidah bin Jarrah yang berhasil merebut wilayah Palestina, Suriah,
dan Mesir dari tangan Imperium Romawi yang telah menguasai ketiga daerah itu
sejak tahun 63 SM. Kemudian Muawiyyah menjabat kepala wilayah di Syam yang
membawahi Suriah dan Palestina yang berkedudukan di Damaskus selama kira-kira
20 tahun semenjak diangkat oleh Khalifah Umar. Khalifah Utsman telah
menobatkannya sebagai “Amr Al-Bahr” (prince of the sea) yang
memimpin armada besar dalam penyerbuan ke kota Konstantinopel walaupun belum
berhasil.
Muawiyyah berhasil mendirikan Dinasti Umayyah bukan
hanya dikarenakan kemenangan diplomasi di Siffin dan terbunuhnya khalifah Ali.
Melainkan sejak semula gubernur Suriah itu memiliki “basis rasional” yang solid
bagi landasan pembangunan politiknya di masa depan.
Pertama, adalah berupa dukungan yang kuat dari
masyarakat Suriah dan dari keluarga Bani Umayyah sendiri. Penduduk Suriah yang
lama diperintah oleh Muawiyyah mempunyai pasukan yang kokoh, terlatih, dan
disiplin di garis depan dalam melawan peperangan melawan Romawi. Mereka
bersama-sama dengan kelompok bangsawan kaya Mekkah dari keturunan Umayyah
berada sepenuhnya di belakang Muawiyyah dan memasoknya dengan sumber-sumber
kekuatan yang tidak ada habisnya, baik moral, tenaga manusia, maupun kekayaan.
Negeri Suriah sendiri terkenal makmur dan menyimpan sumber alam yang berlimpah.
Ditambah lagi bumi Mesir yang berhasil dirampas, maka sumber-sumber kemakmuran
dan suplai bertambah bagi Muawiyyah.
Kedua,sebagai seorang Administrator, Muawiyyah sangat bijaksana dalam menempatkan para
pembantunya pada jabatan-jabatan penting. Tiga orang patutlah mendapat
perhatian khusus, yaitu Amr bin Ash, Mugirah bin Syu’bah, dan Ziyad bin Abihi.
Ketiga pembantu Muawiyyah merupakan empat politikus yang sangat menggunakan di
kalangan Muslim Arab. Akses mereka sangat kuat dalam perpolitikan Muawiyyah.
Amr bin Ash sebelum masuk Islam dikagumi oleh bangsa
Arab, karena kecakapannya sebagai mediator antara Quraisy dan suku-suku Arab
lainnya jika terdapat perselisihan. Setelah menjadi Muslim hanya beberapa bulan
menjelang penaklukan Mekkah, nabi segera memanfaatkan kepandaiannya itu sebagai
pemimpin militer dan diplomat. Tokoh besar ini terutama dikenang sebagai
penakluk Mesir di zaman Umar dan menjabat gubernur pertama diwilayah itu. Sejak
wafatnyaKhalifah Utsman, ‘Amr bin Ash mendukung Muawiyyah dan ditunjuk olehnya sebagai
penengah dalam peristiwa tahkim. Sayang hanya dua tahun ia mendampingi
Muawiyyah. Orang kedua adalah Mughirah bin Syu’bah, seorang politukus
independen. Karena keterampilan politiknya yang besar, Muawiyyah mengangkatnya
manjadi gubernur di Kufah yang meliputi wilayah bagian utara, suatu jabatan
yang pernah dipegangnya kira-kira satu atau dua tahun semasa pemerintah Umar. Keberhasilan Mughirah yang utama adalah kesuksesan menciptakan situasi
yang aman dan mampu meredam gejolak penduduk Kufah yang sebagian besar
pendukung Ali. Sedangkan orang yang ketiga bernama Ziyad bin Abihi, seorang
pemimpin kharismatik yang netral, ditetapkan oleh Mu’awiyah untuk memangku
jabatan gubernur di Bashrah dengan tugas khusus si Persia selatan. Sikap
politiknya yang tegas, adil, dan bijaksana menjamin kekuasaan Muawiyyah kokoh
di wilayah provinsi paling timur itu dikenal sangat gaduh
dan sukar diatur.
Ketiga,
Muawiyyah memiliki kemampuan menonjol sebagai negarawan sejati,
bahkan mencapai tingkat “hilm”, sifat yang dimiliki oleh para pembesar
Mekkah zaman dahulu. Seorang manusia hilm seperti Muawiyyah dapat
menguasai diri secara mutlak dan mengambil keputusan-keputusan yang menentukan,
meskipun ada tekanan dan intimidasi.
Gambaran
dari sifat mulai tersebut dalam diri Muawiyyah setidak-tidaknya tampak dalam
keputusannya yang berani memaklumkan jabatan khalifah secara
turun-temurun. Situasi ketika Muawiyyah naik ke kursi kekhalifahan mengundang banyak
kesulitan. Anarkisme tidak dapat lagi dikendalikan oleh ikatan agama dan moral,
sehingga hilanglah persatuan umat. Persekutuan yang dijalin secara efektif
melalui dasar keagamaan sejak Khalifah Abu Bakar tidak dapat dielakkan dirusak
oleh peristiwa pembunuhan atas diri Khalifah Utsman dan perang saudara sesama
Muslim di masa pemerintahan Ali.
Dengan
menegakkan wibawa pemerintahan serta menjamin intergrasi kekuasaan di masa-masa
yang akan datang, Muawiyyah dengan tegas menyelenggarakan suksesi yang damai,
dengan pembantaian putranya, Yazid, beberapa tahun sebelum khalifah meninggal
dunia.
Ketika
Yazid bin Muawiyyah naik takhta, sejumlah tokoh terkemuka di Madinah tidak mau
menyatakan setia kepadanya. Yazid bin Muawiyyah kemudian mengirim surat kepada
Gubernur Madinah dan memintanya untuk memaksa penduduk mengambil sumpah setia kepadanya.
Dengan cara ini, semua orang terpaksa tunduk, kecuali Husain bin Ali bin Abi
Thalib dan Abdullah bin Zubair bin Awwam. Bersamaan dengan itu, kaum Syi’ah
(pengikut Abdullah bin Saba’ Al-Yahudi) melakukan konsolidasi (penggabungan)
kekuatan kembali dan menghasut Husain melakukan perlawanan. Husain dibaiat
sebagai khalifah di Madinah. Pada tahun 680 M, Yazid bin Muawiyyah mengirim
pasukan untuk kembali memaksanya setia pada pemerintahan Dinasti Umayyah,
sehingga terjadi pertempuran tidak seimbang yang kemudian dikenal sebagai
Pertempuran Karbala.[1]
B. POLA PEMERINTAHAN DAN KHALIFAH-KHALIFAH BANI UMAYYAH
Bentuk
awal pemerintahan Dinasti ini yaitu bersifat demokratis, yang akhirnya
berubah menjadi monarchiheridetis (bersifat turun-temurun). Kekhalifahan Umayah
diperoleh melalui kekerasan, diplomasi, dan tipu daya, tidak dengan pemilihan
atau suara terbanyak.Suksesi kepemimpinan secara turun-temurun dimulai ketika
Muawiyah mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia terhadap anaknya,
Yazid.Muawiyyah bermaksud mencontoh monarchi di Persia dan Bizantium
Kekuasaan Bani Umayah berumur kurang lebih 90 tahun. Ibukota dipindahkan Muawiyah dari Madinah ke Damaskus, tempat ia berkuasa sebagai gubernur sebelumya.
Kekuasaan Bani Umayah berumur kurang lebih 90 tahun. Ibukota dipindahkan Muawiyah dari Madinah ke Damaskus, tempat ia berkuasa sebagai gubernur sebelumya.
Para sejarawan umumnya sependapat
bahwa khalifah terbesar dari daulah Umayyah ialah Muawiyyah, Abdul Malik dan
Umar bin Abdul aziz.
Masa Kekuasaan Dinasti Umayyah hampir satu
abad, tepatnya selama 90 tahun, dengan 14 orang khalifah. Adapun urutan
khalifah umayyah adalah sebagai berikut:
1. Muawiyyah I bin Abi
Sufyan (41-60 H/661-679M)
Muawiyyah bin Abi sufyan adalah bapak pendiri Dinasti
Bani Umayyah dialah tokoh pembangunan yang besar. Muawiyyah mendapat kursi
kekuasaan setelah Hasan bin Ali bin Abi Thalib berdamai dengannya pada tahun 4
H, karena Hasan menyadari kelemahannya sehingga ia berdamai dan menyerahkan
kepemimpinan umat kepada Muawiyyah sehingga tahun itu dinamakan ‘Amul Jama’ah, tahun persatuan. Muawiyyah dibaiat oleh
umat Islam di kufah. Diantara jasa-jasa Muawiyyah ialah mengadakan dinas pos
dengan menggunakan kuda-kuda yang selalu siap di tiap pos. Ia juga berjasa
mendirikan kantor cap (percetakan mata uang), dan lain-lain. Muawiyyah wafat pada tahun 60 H di Damaskus karena sakit dan digantikan
oleh anaknya Yazid.
2. Yazid I bin Muawiyyah
(60-64H/679-683M)
Yazid tidak sekuat ayahnya dalam memerintah, banyak
tantangan yang dihadapinya, antara lain ialah membereskan pemberontakan kaum
Syi’ah yang telah membaiat Husein sepeninggal Muawiyyah. Terjadi perang di
karbala yang menyebabkan terbunuhnya Husain. Yazid menghadapi para pemberontak
di Mekkah dan Madinah dengan keras. Dinding ka’bah runtuh dikarenakan terkena
lemparan manjaniq, peristiwa tersebut merupakan aib besar terhadap masanya.
Yazid wafat pada tahun 64 H setelah memerintah 4 tahun dan digantikan oleh
anaknya, Muawiyyah II
3. Muawiyyah II bin
Yazid (64 H/683M)
Ia hanya memerintahkan kurang lebih 40 hari, dan
meletakkan jabatan sebagai khalifah tiga bulan sebelum wafatnya. Ia mengalami
tekanan jiwa berat karena tidak sanggup memikul tanggung jawab jabatan khalifah
yang sangat besar tersebut. Dengan wafatnya, maka habislah keturunan Muawiyyah
dalam melenggangkan kekuasaan dan berganti ke Bani Marwan.
4. Marwan I bin Hakam
(64-65 H/683-684M)
Ia adalah gubernur Madinah di masa Muawiyyah dan
penasihat Yazid di Damaskus di masa pemerintahan putra pendiri daulah Umayyah
itu. Ia di angkat menjadi khalifah karena dianggap orang yang dapat
mengendalikan kekuasaan karena pengalamannya. Ia dapat menghadapi kesulitan
satu demi satu dan dapat mengalahkan kabilah Ad-Dahak bin Qais, kemudian
menduduki mesir. Marwan menundukan palestina, hijaz, dan irak. Namun ia cepat pergi hanya memerintah 1 tahun, ia wafat pada tahun 65 H dan menunjuk
anaknya Abdul Malik dan Abdul Aziz sebagai pengganti sepeninggalannya secara
berurutan.
5. Khalifah Abdul Malik
(65-86H/684-705M)
Dia adalah orang kedua yang terbesar dalam deretan
para khalifah Bani Umayyah yang disebut-sebut sebagai ‘pendiri kedua’ bagi
kedaulatan Umayyah. Ia dikenal sebagai seorang khalifah yang dalam ilmu agamanya, terutama di bidang fiqh. Ia telah berhasil mengembalikan sepenuhnya
integritas wilayah dan wibawa kekuasaan keluarga Umayyah dari segala pengacau negara
yang merajalela pada masa-masa sebelumnya. Mulai dari gerakan sparatis Abdullah
bin Zubair di Hijaz, pemberontakan kaum Syi’ah dan Khawarij, sampai kepada aksi
teror yang dilakuakn oleh Al-Mukhtar bin Ubaid As-Saqafy di wilayah kufah, dan
pemberontakan yang di pimpin oleh Mus’ab bin Zubair di Irak.
Ia juga menundukan tentara Romawi yang sengaja membuat
keguncangan sendi-sendi pemerintahan Umayyah. Ia memerintahkan menggunakan
bahasa Arab sebagai bahasa Administrasi di wilayah Umayyah, ia juga memerintahkan
untuk mencetak uang secara teratur, membangun beberapa gedung, dan masjid serta
slauran-saluran air, memajukan perdagangan, memperbaiki sistem ukuran timbang,
takaran dan keuangan dan menyempurnakan tulisan huruf Al-Qur’an dengan titik
pada huruf-huruf tertentu.
Khalifah abdul Malik memerintah selam 21 tahun dan
wafat 86 H dan di ganti oleh putranya Al-Walid
6. Al Walid I bin Abdul
Malik (86-96H/705-714M)
Memerintah 10 tahun lamanya. Pada masa
pemerintahannya, kekayaan dan kemakmuran merintah ruah. Kekuasaan Islam
melangkah ke Spanyol di bawah pimpinan pasukan Thariq bin Ziyad ketika afrika
utara dipegang oleh gubernur Musa bin Nushair. Karena kekayaan melimpah maka ia
sempurnakan pembanguna gedung-gedung, pabrik-pabrik, dan jalan-jalan yang dilengkapi
dengan sumur untuk para khalifah yang berlalu lalang di jalan tersebut. Ia
membangun masjid Al-Amawi yang terkenal hingga masa kini di Damaskus. Di samping itu, ia menggunakan kekayaan negerinya untuk menyantuni para yatim
piatu, fakir miskin, dan penderita cacat seperti orang lumpuh, buta, dan sakit
kusta. Khalifah Walid bin Absul Malik wafat tahun 96 H dan digantikan oleh
adiknya, Sulaiman.
7. Sulaiman bin Abdul
Malik (96-99H/714-117M)
Dia
tidak sebijak kakaknya, ia kurang bijaksana, suka harta sebagaimana yang
diperlihatkan ketika ia menginginkan harta rampasan perang (ghanimah) dari
Spanyol yang dibawa oleh Musa bin Nushair.
Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik dibenci oleh
rakyatnya karena tabiatnya yang kurang bijaksana itu. Para pejabatnya terpecah
belah, demikian pula masyarakatnya. Orang-orang yang berjasa di masa para
pendahulunya disiksanya, seperti keluarga Hajjaj bin Yusuf dan Muhammad bin
Qasim yang menundukan India. Ia meninggal pada tahun 99 H dan menunjuk Umar bin
Abdul Aziz sebagai penggantinya.
8. Umar bin Abdul Aziz.
(99-101H/717-719M)
Adapun khalifah yang besar ialah Umar bin Abdul Aziz.
Meskipun masa pemerintahannya sangat singkat, nama Umar merupakan ‘lembaran
putih’ Bani Umayyah dan sebuah periode yang berdiri sendiri, mempunyai karakter
yang tidak terpengaruh oleh berbagai kebijaksanaan daulah Bani Umayyah yang
banyak disesali. Ia merupakan personifikasi seorang khalifah yang takwa dan
bersih, suatu sikap yang jarang sekali ditemukan pada sebagian besar pemimpin
Bani Umayyah.
Khalifah yang adil ini adalah putra Abdul Aziz,
gubernur Mesir. Ia lahir di Hilwan dekat Kairo, atau Madinah menurut sumber
lain. Rupanya keadilannya menurun dari Khalifah Umar bin Khatab yang
menjadi kakeknya dari jalur ibunya. Ia menghabiskan waktunya di Madinah untuk
mendalami ilmu Agama Islam, khususnya ilmu hadis dan ketika ia menjadi khalifah
ia memerintahkan kaum Muslimin untuk menuliskan hadis, dan inilah perintah
resmi pertama dari penguasa Islam. Umar adalah orang yang rapi dalam berpakaian, memakai
wewangian dengan rambut yang panjang dan cara jalan yang tersendiri, sehingga
mode Umar itu ditiru orang pada masanya.
Ia dikawinkan dengan Fatimah, putri Abdul Malik,
khalifah Umayyah yang sekaligus sebagi pamannya. Ia diangkat menjadi gubernur Madinah
oleh khalifah Al-Walid bin Abdul Malik, salah seorang sepupunya. Tetapi ia dipecat
dari jabatannya itu karena masalah putra mahkota. Berbekal pengalamannya sebagai pejabat, kaya akan ilmu dan harta, serta sebagi bangsawan Arab yang
mulia, ia diangkat sebagai Khalifah menggantikan Sulaiman, adik al-Walid. Khalifah Umar bin Abdul Aziz berubah tingkah lakunya, ia menjadi
seorang zahid, sederhana, bekerja keras, dan berjuang tanpa henti sampai akhir
hayatnya memerintah kurang lebih dua tahun.
Khalifah
yang kaya itu menguasai tanah-tanah perkebunan di Hijaj, Syiria, Mesir, Yaman
dan Bahrain yang menghasilkan kekayaan 40.000 dinar tiap tahun. Namun setelah
menduduki jabatan barunya Khalifah Umar bin Abdul Azizi mengembalikan
tanah-tanah yang dihibahkan kepadanya dan meninggalkan kebiasaan-kebiasaan
lamanya serta menjual barang-barang mewahnya untuk diserahkan hasil
penjualannya ke baitul mal. Di samping itu ia mengadakan perdamaian antara
Amawiyah dan Syi’ah serta Khawarij, menghentikan peperangan serta caci maki
terhadap khalifah Ali bin Abi Thalib dalam khutbah Jum’at dan diganti dengan
bacaan ayat berikut :
“Sesungguhnya Allah memerintahkan untuk mengerjakan
keadilan dan bijaksana, serta memberi kaum kerabat, dan Dia melarang perbuatan
keji, munkar dan aniaya. (QS An-Nahl : 90)
Khalifah yang adil itu berusaha memperbaiki segala
tatanan yang ada di masa kekhalifahannya seperti menaikan
gaji para gubernurnya, memeratakan kemakmuran dengan memberi santunan kepada
fakir miskin, dan memperbarui dinas pos. Ia juga menyamakan kedudukan
orang-orang non-Arab sebagai warga negara kelas dua, dengan orang-orang Arab.
Ia mengurangi beban pajak dan menghentikan pembayaran jizyah bagi orang Islam
baru.
Khalifah Umar meninggal tahun 101 H dan di ganti Oleh
Yazid II bin Abdul Malik.
9. Yazid II bin Abdul
Malik (101-105H/719-723M)
Pada masa pemerintahannya timbul lagi perselisihan
antara kaum Mudariyah dan Yamaniyah. Pemerintahan yang singkat itu mempercepat
proses kemunduran Bani Umayyah. Kemudian diganti oleh Khalifah
Hisyam bin Abdul Malik.
10. Hisyam bin Abdul Malik (105-125H/723-745M)
Meskipun tidak secemerlang tiga khalifah yang masyur
sebagimana tersebut di atas. Ia memerintah dalam waktu yang panjang, yakni 20
Tahun. Ia dapat dikategorikan sebagai khalifah Umayyah yang terbaik karena
kebersihan pribadinya, pemurah, gemar kepada keindahan, berakhlak mulia dan
tergolong teliti terutama soal keuangan, disamping bertaqwa dan berbuat adil.
Pada masa pemerintahannya terjadi gejolak yang dipelopori oleh kaum Syi’ah
serta bersekutu dengan kaum Abbasiyyah. Mereka menjadi kuat karena kebijaksanaan
yang diterapkan oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang bertindak lemah lembut
terhadap semua kelompok. Dalam diri keluarga Umayyah sendiri terjadi
perselisihan tentang putra mahkota yang melemahkan posisi Umayyah.
Masih ada empat khalifah lagi yang setelah Hisyam yang
memerintah hanya dalam waktu tujuh tahun, yakni :
11. Al-Walid II bin Yazid (125-126H/742-743M)
12. Yazid III bin Al-Walid (126H/743M)
13. Ibrahim bin Al-Walid (126-127H/743-744M)
14. Marwan bin Muhammad (127-132H/744-750M)
Dia adalah penguasa terakhir yang terkenal dengan
julukan marwan al-himar (manusia keledai). Karena kebesarannya yang luar
biasa dan kesanggupannya menahan perasaan. Sebenarnya ia adalah penguasa yang
besar tapi sayang, ia muncul ketika daulat Bani Umayyah sedang
merosot.
Dia wafat pada tahun 132 H/750 M terbunuh di Mesir oleh pasukan Bani Abbasiyyah.
C. EKSPANSI DI MASA DINASTI UMAYYAH
Masa pemerintahan Bani Umayah
terkenal sebagai suatu era agresif, di mana perhatian tertumpu pada usaha
perluasan wilayah dan penaklukan, yang terhenti sejak zaman kedua khulafaur
rasyidin terakhir. Hanya dalam jangka waktu 90 tahun, banyak bangsa di empat
penjuru mata angin beramai-ramai masuk ke dalam kekuasaan Islam, yang meliputi
tanah Spanyol, seluruh wilayah Afrika Utara, Jazirah Arab, Syiria, Palestina,
sebagian daerah Anatolia, Irak, Persia, Afghanistan, India dan negeri-negeri
yang sekarang dinamakan Turkmenistan, Uzbekistan dan Kirgiztan yang termasuk
Soviet Rusia.[2]
Menurut Prof. Ahmad Syalabi,
penaklukan militer di zaman Umayah mencakup tiga front penting, yaitu sebagai
berikut:
a.
Front
melawan bangsa Romawi di Asia kecil dengan sasaran utama pengepungan ke ibu
kota Konstatinopel, dan penyerangan ke pulau-pulau di Laut Tengah.
b. Front Afrika
Utara. Selain menundukan daerah hitam Afrika, pasukan muslim juga menyeberangi
Selat Gibraltar, lalu masuk ke Spanyol.
c.
Front timur
menghadapi wilayah yang sangat luas, sehingga operasi ke jalur ini dibagi dua
arah. Yang satu menuju utara ke daerah-daerah di seberang sungai Jihun (Ammu
Darye). Sedangkan yang lainya kearah selatan menyusuri Sind, wilayah India
bagian barat.[3]
Kejayaan Dinasti Umayyah ditandai dengan capaian
ekspansinya yang sangat luas. Langkah ekspansi ini menunjukkan stabilitas
politik Umayyah yang cukup mapan.[4]
Perluasan di masa Umayyah meliputi:
a.
Perluasan ke
Wilayah Barat
Muawiyah berusaha mematahkan
imperium Bizantium, dengan merebut Kota Konstantinopel. Oleh karena itu selalu
dilakukan pengintaian dan ekspedisi ke Wilayah Romawi (Turki). Kota itu
dikepung pada tahun 50 H/670 M kemudian pada tahun 53-61 H/672-680 M, namun
tidak berhasil ditaklukan. Muawiyah membentuk pasukan laut yang besar yang
siaga di Laut Tengah dengan kekuatan 1.700 kapal. Dengan kekuatan itu dia
berhasil memetik berbagai kemenangan. Dia berhasil menaklukan pulau Jarba di
Tunisia pada atahun 49 H/669 M, kepulauan Rhodesia pada tahun 53 H/673 M,
kepulauan Kreta pada tahun 55 H/624 M, kepulauan Ijih dekat Konstatinopel pada
tahun 57 H/680 M.[5]
Muawiyah juga menyerang pulau-pulau Sisilia dan pulau-pulau Arward.[6]
1)
Penaklukan
di Afrika Utara
Pada zaman Utsman, orang-orang Arab
telah mencapai Barqah dan Tripoli di Libia, kemudian Muawiyah bertekad merebut
kekuasaan dari Romawi di Afrika Utara. Pada tahun 41 H/661 M Benzarat berhasil
ditaklukkan, Qamuniah (dekat Qayrawan) ditaklukkan pada tahun 45 H/ 665 M,
Sasat juga ditaklukkan pada tahun yang sama. Uqbah bin Nafi’ berhasil
menaklukan Sirt dan Mogadishu, Tharablis, dan menaklukan Wadan kembali.[7]
Dengan dukungan orang Barbar dia mengalahkan tentara Bizantium di Ifriqiyah
(Tunisia). Pada tahun 670 M Uqbah
mendirikan kota Qayrawan sebagai kota Islam.[8]
Kur sebuah wilayah di Sudan berhasil pula ditaklukan. Akhirnya, penaklukan ini
sampai ke wilayah Maghrib Tengah (Aljazair).[9][11]
2)
Ekspansi ke
Spanyol
Setelah Berjaya di Afrika Utara,
tentara Islam ingin melanjutkan ekspansinya ke daratan Eropa. Tariq bin Ziyad
berhasil menaklukkan kota Cordova, Granada dan Toledo (Toledo di masa itu
adalah ibu kota kerajaan Ghot). Kemudian ia berhasil menaklukkan kota-kota
Spanyol dan merebut kota Karma, Barcelona, dan Saragosa.[10]
b. Perluasan ke
Wilayah Timur
Kawasan Timur (Negeri Asia Tengah
dan Sindh). Negeri-negeri Asia Tengah meliputi kawasan yang berada diantara
sungai Sayhun dan Jayhun. Mayoritas penduduk di kawasan itu adalah kaum pagnis.
Pasukan Islam menyerang wilayah Asia Tengah pada tahun 41 H/661 M. pada tahun
43 H/663 M mereka mampu menaklukan sebagian wilayah Thakharistan pada tahun 45
H/665 M. mereka sampai ke wilayah Quhistan. Pada tahun 44 H/664 M Abdullah bin
Ziyad tiba di pegunungan Bukhari.
Pada tahun 44 H/664 M kaum muslimin
menyerang wilayah Sindh dan India. Penduduk di tempat itu selalu melakukan
pemberontakan sehingga membuat kawasan itu tidak selamanya stabil kecuali di
masa pemerintahan Walid bin Abdul Malik.[11]
D. MASA KEMAJUAN BANI UMAYYAH
Masa
pemerintahan Bani Umayyah terkenal sebagai era agresif, dimana perhatihan
tertumpu pada usaha perluasan wilayah dan penaklukan, yang terhenti sejak zaman
kedua Khulafa’ Arrasyidin terakhir. Hanya dalam jangka waktu 90 tahun, banyak
bangsa di empat penjuru mata angin beramai-ramai masuk ke dalam kekuasaan
Islam, yang meliputi tanah Spanyol, seluruh wilayah Afrika Utara, Jazirah Arab,
Syiria, Palestina, sebagian daerah Anatholia, Irak, Persia, Afganistan, India,
dan negeri-negeri yang sekarang dinamakan Turkmenistan, Usbekistan, dan
Kirgististan yang termasuk Soviet dan Rusia.
Menurut Prof. Ahmad Syalabi, Penaklukan militer di
zaman Umayyah mencakup front tiga penting, yaitu sebagai berikut:
Pertama, front melawan bangsa Romawi di Asia kecil
dengan sasaran utama pengepungan ke Ibukota Konstantinopel, dan peneyrangan ke
pulau-pulau di laut tengah.
Kedua, front Afrika Utara. Selain menundukkan
derah hitam Arfika, pasukan Muslim juga menyebrangi selat Gibraltar, lalu masuk
ke Spanyol.
Ketiga, front timur menghadapi wilayah yang
sangat luas, sehingga operasi ke jalur ini dibagi menjadi dua arah. Yang satu
menuju utara ke daerah-daerah di seberang sungai Jihun (Amudarya). Sedangkan
yang lainnya ke arah selatan menyusuri Syin, wilayah India bagian Barat.
Saat-saat
yang paling mengesankan dalam ekspansi ini ialah terjadi pada paruh pertama
dari seluruh masa Kekhalifahan Bani Umayyah, yaitu ketika kedaulatan dipegang
oleh Muawiyyah bin Sofyan dan tahun-tahun terkahir dari zaman kekuasaan Abdul
Malik. Diluar masa-masa tersebut, usaha-usaha penaklukan mengalami degradasi
atau hanya mencapai kemenangan-kemenangan yang sangat tipis.
Pada masa pemerintahan Muawiyyah diraih dalam kemajuan
besar dalam perluasan wilayah, meskipun pada beberapa tempat masih bersifat rintisan. Peristiwa paling mencolok ialah keberaniannya mengepung kota
Konstantinopel melalui suatu ekspedisi yang di pusatkan di kota
pelabuhan Dardanela, setelah terlebih dahulu menduduki pulau pulau di Laut
Tengah seperti Rodhes, Kreta, Cyprus, Sicilia dan sebuah pulau yang bernama
Award, tidak jauh dari ibukota RomawiTimur itu. Di belahan timur, Muawiyyah berhasil
menaklukkan Khurasan sampai ke sungai Oxus dan Afghanistan.
Ekspansi ke Timur yang telah dirintis oleh Muawiyyah,
lalu disempurkan oleh Khalifah Abdul Malik. Dibawah komando gubernur Irak,
Hajjaj bin Yusuf, tentara kaum Muslimin menyeberangi sungai Amudaria dan
mmenundukan Balk, Bukhoro, Khawarizm, Fargana, Samarkhand, pasukan Islam juga
melalui Makron masuk ke Balukhistan, Syin dan Punjab sampai ke Multan, Islam
menginjakkan kakinya untuk pertama kalinya di bumu India.
Kumudian tiba masa kekuasaan Al Walid I yang
disebut-sebut sebagai masa kemenangan yang luas. Pengepungan yang gagal atas
kota Knstantinopel di zaman Muawiyyah, dihidupkan kembali denagn memberikan
pukulan-pukulan yang cukup kuat. Walaupun cita-cita untuk menundukkan ibukota
Romawi tetap saja belum berhasil, tetapi tindakan itu sedikit banyak berhasil
menggeser kapal batas pertahanan Islam lebih jauh ke depan, dengan menguasai basis-basis
militer kerajaan Romawi di Mar’asy dan ‘Amuriah.
Prestasi yang lebih besar dicapai oleh Al-Walid I ialah di front Afrika Utara sekitarnya.
Setelah segenap tanah Afrika bagian Utara diduduki, pasukan Muslim di bawah
pimpinan Thariq bin Ziyad menyebrangi selat Gibraltar masuk ke Spanyol. Lalu
ibukotanya, Cordova segera dapat di rebut, menyusul kemudian kota-kota lain
seperti Sevilla, Elvira dan Toledo. Gubernur Musa bin Nushair kemudian
menyempurnakan penaklukan atas Tanah Eropa ini dengan menyisir kaki Pegunungan
Pyrenia dan menyerang Carolingian Prancis.
Berikut kemajuan-kemajuan semasa Dinasti Umayyah berdasarkan bidangnya masing-masing:
1. Bidang Kemiliteran
Kemajuan masa pemerintahan Dinasti Bani Umayyah yang
paling menomjol adalah di bidang kemiliteran. Selama peperangan dengan militer
Romawi pasukan Arab mengambil tekhnik kemiliteran mereka dan memadukannya
dengan sistem pertahanan yang telah di miliki sebelumnya. Pasukan Islam
mendirikan tenda-tenda yang terdiri dari 2-4 pintu dengan perlindungan benteng dan parit. Kuffah dan Basroh merupakan basis militer untuk wilayah timur, formasi kekuatan pasukan Muslim terbagi dua barisan. Barisan depan dan barisan
belakang. Seluruhnya terdiri lima lapisan, yakni satu lapisan pusat, dua
lapisan pasukan sayap, lapisan penyerbu , dan lapisan prtahanan. Kekuatan
pasukan-pasukan Dinasti Umayyah ini telah mencatat sukses-sukses besar dalam
tugas-tugas ekspansi. Kemajuan kekuatan militer pada masa ini juga di tandai
dengan terbentuknya angkatan laut Islam oleh Muawiyyah. Ia mengarahkan para
pakar kelautan untuk merancang pembuatan galangan perkapalan di pantai Syiria.
2. Sistem Sosial
Terdapat empat kelompok masyarakat, yakni Arab Muslim.
Mawalli, non Muslim, dan kelompokm Arab-Muslim menduduki kelas sosial tertinggi
di sebabkan karena mereka sebagai kelompok pendatang yang berkuasa, juga di
karenakan sistem aristokrasi. Namun pada prinsipnya mereka semua mendapat
perlindungan hak-hak secara penuh sehingga mereka dapat hidup dengan tenang dan
damai. Perbedaan yang menonjol adalah dalam hal beban kewajiban pajak. Hampir
di katakan tidak ada perselisihan antaragama. Yang muncul perselisihan
antarsuku. Contohnya kelompok Mudariyah dengan kelompok Arab Himyariyah.
3.
Kemajuan Arsitektur
Penguasa
Dinasti Umayyah pada umumnya mahir dalam seni arsitektur, mereka mencurahkan
perhatiaanya demi kemajuan bidang ini hasilnya adalah ssejumlah bangunan megah,
Masjid Baitul Maqdis di Yerussalem, yangn terkenal dengan kubah batunya (qubah
al-sakhra) didirikan pada masa Abdul Malik pada tahun 691 M. Ia adalah
masjid pertama yang di tutup kubah di atasnya. Dan juga masjid al Aqsa yang
tidak kalah tinggi arsiteknya sebuah masjid terindah yang terdapat di Damaskus
yang didirikan oleh Walid bin Abdul Aziz. Ia juga merehap masjid Madinah antara
beberapa monument peninggalan Umayyah yang terkenal adalah istana Qusayr Amrah. Istana ini terbuat dari batu kapur yang berwarna kuning
kemerah-merahan.
4. Bidang Politik
Dalam bidang politik, Bani Muawiyyah menyusun tata
pemerintahan yang sama sekali baru. Guna untuk memenuhi tuntutan perkembangan
wilayah dan administrasi kenegaraan yang semakin kompleks. Selain mengangkat
majelis penasehat sebagai pendamping, khalifah Bani Umayyah dibantu oleh
beberapa orang ‘ Al Kuttab “ (sekretaris) untuk membantu dalam pelaksanaan
tugas , yang meliputi:
a. Kartib
ar-Rasail, yaitu sekertaris yang bertugas menyelenggarakan administrasi dan
surat menyurat dengan pembesar-pembesar setempat.
b. Kattib al Kharraj,
sekertaris yang bertugas menyelenggarakan penerimaan pemasukan dan penerimaan
negara.
c. Katib al Jundi,
yaitu sekertaris yang bertugas menyelenggarakan hal-hal yang berkaitan dengan
ketentaraan.
d. Katib as-Syurtah,
yaitu sekertaris yang bertugas menyelenggarakan pemeliharaan keamanan dan
ketertiban.
e. Katib al Qudat,
yaitu sekertaris yang bertugas menyelenggarakan tertib hukum melalui badan-badan peradilan dan hakim setempat.
Terbentuknya
Dinasti Umayyah merupakan gambaran awal bahwa umat Islam ketika itu telah
kembali mendapatkan identitasnya sebagai negara yang berdaulat, juga merupakan
fase ketiga kekuasaan Islam yang berlangsung selama lebih kurang satu abad (661
- 750 M). Perubahan yang dilakukan, tidak hanya sistem kekuasaan Islam dari masa
sebelumnya (masa Nabi dan Khulafaurrasyidin) tapi juga perubahan-perubahan lain
di bidang sosial politik, keagamaan, intelektual dan peradaban.
1. Dinamika Politik
Dalam
awal perkembangannya, Dinasti ini sangat kental diwarnai nuansa politiknya
yaitu dengan memindahkan ibukota kekuasaan Islam dari Madinah ke Damaskus.
Kebijakan itu dimaksudkan tidak hanya untuk kuatnya eksistensi Dinasti yang
telah mendapat legitimasi politik dari masyarakat Syiria, namun lebih dari itu
adalah untuk pengamanan dalam negeri yang sering mendapat serangan-serangan
dari rival politiknya.
a. Sistem Penggantian kepala Negara
bersifat Monarchi. Pemindahan sistem kekuasaan juga dilakukan Muawiyyah,
sebagai bentuk pengingkaran demokrasi yang dibangun masa Nabi dan Khalifah yang
empat. dari kekhalifahan yang berdasarkan pemilihan atau musyawarah menjadi
kerajaan turun menurun (monarch/ heridetis).
b. Sistem Sosial (Arab dan Mawali).
Pada masa Nabi dan khalifah yang empat, keanggotaan masyarakat secara umum dalam
segala hal hanya dibatasi berdasarkan keagamaan, sehingga masyarakat secara
garis besar terdiri Muslim dan non Muslim, dan dalam memperlakukan orang
Islam sebagai mayoritas dapat dibedakan menurut dua kriteria, pertama yang
menjurus kepada hal-hal yang praktis dan seringkali diterapkan pada kelompok,
dan kreteria kedua berupa tindakan pengabdian kepada masyarakat yang sifatnya
tebih personal. Sebagai tambahan atas kedua kriteria itu, pada Dinasti Umayyah
syarat keanggotaan masyarakat harus berasal dari orang Arab, sedangkan orang
non-Arab setelah menjadi Muslim harus mau menjadi pendukung (mawali)
bangsa Arab. Dengan demikian masyarakat Muslim pada masa Dinasti Umayyah terdiri
dari dua kelompok, yaitu Arab dan Mawali.
Dikalangan
kaum Mawali lahirlah satu gerakan rahasia yang terkenal dengan nama
Asy-Syu’ubiyyah yang bertujuan melawan paham yang membedakan derajat kaum
Muslimin yang sebetulnya mereka bersaudara, dan yang membedakan hanyalah
ketaqwaan mereka serta banyak kaum Mawali yang bersikap membantu gerakan Bani
Hasyim turunan Alawiyah, bahkan juga memihak kaum Khawarij.
c. Kebijaksanaan dan Orientasi
Politik. Selama lebih kurang 90 tahun Dinasti Bani Umayyah ini memerintah,
banyak terjadi kebijaksanaan politik yang dilakukan pada masa ini, seperti:
1) Pemisahan Kekuasaan. Terjadi
dikotomi antara kekuasaan agama (spiritual power) di tunjuklah qadhi/
hakim dan kekuasaan politik (temporal power). Dapatlah dipahami bahwa
Mu’awiyah bukanlah seorang yang ahli dalam keagamaan sehingga diserahkan kepada
para Ulama.
2) Pembagian wilayah. Khalifah
bin Khattab terdapat 8 Provinsi, maka pada masa Bani Umayyah menjadi 10
Provinsi Wilayah kekuasaan terbagi dalam 10 provinsi, yaitu:
a.
Syiria dan Palestina;
b.
Kuffah dan Irak;
c.
Basrah, Persia, Sijistan, Khurasan,
Bahrain, Oman, Najd dan Yamamah;
d.
Arenia;
e.
Hijaz;
f.
Karman dan India;
g.
Egypt (Mesir);
h.
Ifriqiyah (Afrika Utara);
i.
Yaman dan Arab selatan, dan
j.
Andalusia.
3) Bidang
Administrasi Pemerintahan. Di bidang pemerintahan, Dinasti membentuk semacam
Dewan Sekretaris Negara (Dewan al Kitabah) yang terdiri dari lima orang
sekretaris yaitu : Katib ar Rasail, Katib al Kharraj, Katib al Jund, Katib asy
Syurtah dan katib al Qadi.[12]
Untuk mengurusi administrasi pemerintahan daerah di angkat seorang Amir al
Umara (Gubemur Jenderal) yang membawahi beberapa amir sebagai penguasa satu
wilayah.
Pada masa Abdul Malik bin Marwan, jalannya
pemerintahan ditentukan, oleh empat departemen pokok (dewan) yaitu :
a) Dewan Rasail (istilah
sekarang disebut sekretaris jenderal). Dewan ini berfungsi untuk mengurus
surat-surat negara yang ditujukan kepada para gubernur atau menerima
surat-surat dari mereka. Ada dua macam sekretariat. Pertama, sekretariat
negara (dipusat) yang menggunakan bahasa Arab sebagai pengantar. Kedua, sekretariat
Provinsi yang menggunakan bahasa Yunani (Greek) dan Parsi sebagai bahasa
pengantarnya kemudian menjadi bahasa Arab sebagai pengantar ini terjadi setelah
bahasa Arab menjadi bahasa resmi di seluruh negara Islam.
b) Dewan
al-Kharaj. Bertugas untuk mengurus masalah pajak, yang dikepalai oleh Shahib
al-Kharraj diangkat oleh khalifah dan bertanggung jawab langsung kepada
khalifah.
c) Dewan al-Barid. Merupakan badan intelijen negara yang berfungsi sebagai
penyampai berita-berita rahasia daerah kepada pemerintah pusat. Pada masa
pemerintahan Abdul Malik berkembang menjadi Departemen Pos khusus urusan
pemerintah.
d) Dewan al-Khatam (departemen
pencatatan). Setiap peraturan yang dikeluarkan oleh khalifah harus disalin di
dalam suatu register, kemudian yang asli harus disegel dan dikirim ke alamat
yang dituju.
4) Politik Arabisasi. Dengan
tatanan masyarakat yang homogin tersebut, menimbulkan ambisi penguasa Dinasti
ini untuk mempersatukan masyarakat dengan politik Arabisme,yaitu membangun
bangsa Arab yang besar dan sekaligus menjadi kaum Muslimin. Usaha-usaha ke arah
itu antara lain mewajibkan untuk membuat akte kelahiran masyarakat Arab bagi
anak-anak yang lahir di daerah-daerah penaklukan, kewajiban berbahasa Arab bagi
penduduk daerah Islam dan bahkan adat-istiadat serta sikap hidup mereka
diharuskan menjadi Arab. Pada masa Bani Umayyah (sejak Khalifah Abd Malik bin
Marwan), berkembang istilah Arabisasi artinya usaha-usaha pengaraban oleh Bani Umayyah di wilayah-wilayah yang dikuasai Islam. Bidang
ini dilakukan Bani Umayyah antara lain dalam pengangkatan kepala-kepala wilayah
dari bangsa Arab untuk ditempatkan pada wilayah-wilayah yang dikuasai. Di samping itu ia mengajarkan bahasa Arab di seluruh wilayah Islam. Penerjemahan buku-buku berbahasa asing ke dalam
bahasa Arab.
5)
Kebijakan
politik Dinasti Umayyah lainnya adalah upaya-upaya perluasan wilayah kekuasaan.
Pada zaman Muawiyyah, Uqbah bin Nafi' berhasil menguasai Tunis yang kemudian
didirikan kota Qairawan sebagai pusat kebudayaan Islam pada tahun 760 M. Di
sebelah, Muawiyyah memperoleh daerah Khurasan sampai ke Lahore di Pakistan. Di
sebelah barat dan utara diarahkan ke Bizantium dan dapat menundukkan Rhodes dan
pulau-pulau lain di Yunani. Pada tahun 48 H, Muawiyyah merencanakan penyerangan
laut dan darat terhadap Konstantinopel, tetapi gagal setelah kehilangan pasukan
dan kapal perang mereka.
Zaman
Walid I, dengan dibantu tiga orang pimpinan pasukan terkemuka sebagai penaduduk
yaitu: Qutaybah bin Muslim, Muhammad bin al Qasim dan Musa bin Nashir, ekspansi
ke barat dan mencapai keberhasilan. Ekspansi ke barat dilakukan oleh Musa bin
Nashir, berhasil menundukkan Aljazair dan Maroko, kemudian ia mengangkat Tariq
bin Ziyad sebagai wakilnya untuk memerintah di daerah itu dan melakukan
perebutan kekuasaan dalam kerajaan Gotia Barat di Spanyol untuk ditaklukkan,
akhirnya Toledo ibukota Spanyol jatuh ke tangan pasukan Muslim menyusul kota
Seville, Malaga, Elvira dan Cordoua yang kemudian menjadi ibukota Spanyol Islam
(al Andalus).
Setelah menaklukkan Spanyol, Musa bin Nashir ambil
bagian ke Spanyol dan melanjutkan ekspansinya dengan merampas Carmona, Cadiz di
sebelah tenggara dari Calica di sebelah barat laut. Dia memutuskan untuk
meneruskan ekspansinya ke sebelah selatan Perancis, namun ada kekhawatiran dari
Walid I atas pengaruh Musa bin Nashir yang mungkin akan memproklamirkan seluruh
negara yang ditaklukkan, maka Walid I memerintahkan untuk mangakhiri ekspansinya
ke Eropa dan memanggil Musa dan Tariq ke Damaskus.[13]
Di
masa Abdul Malik, Qutaybah diangkat oleh al Hajjaj bin Yusuf, gubernur
Khurasan, menjadi wakilnya pada tahun 86 H. Bersama pasukannya, Qutaybah dapat
menundukkan Balkh, Bukhara, Khawarizm, Farghana dan Masarkand. Usaha
ekspansinya ke Cina diurungkan, karena delegasinya disuruh kembali kepada
pemimpinnya dengan saling tukar-menukar cenderamata, Qutaybah menerima uang dan
mencetak materai dengan bantuan pemuda kerajaan kemudian menjelajahi
kekuasannya dan pulang ke Merv, ibukota Khurasan.[14]
Muhammad bin Qasim dipercaya oleh al Hajjaj untuk
menundukkan India. Pada tahun 89 H, ia menuju ke Sind dan mengepung pelabuhan
Deibul di muara sungai Indus, kemudian tempat itu diberi nama Mihram. la
memperluas penaklukannya hingga ke Maltan sebelah selatan Punjab dan
Brahmanabat.
2. Dinamika
Ekonomi
Kemenangan-kemenangan yang diperoleh umat Islam secara
luas itu, menjadikan orang-orang Arab bertempat tinggal di daerah penaklukan
dan bahkan menjadi tuan-tuan tanah. Kepada pemilik tanah diwajibkan oleh
Dinasti Umayyah untuk membayar pajak tanah, namun pajak kepala hanya berlaku
kepada penduduk non Muslim sehingga mengakibatkan banyaknya penduduk yang masuk
Islam, akibatnya secara ekonomis penghasilan negara berkurang, namun demikian
dengan keberhasilan Dinasti Umayyah menaklukkan Imperium Persia beserta wilayah
kepunyaan Imperium Byzantium, sesungguhnya kemakmuran bagi Dinasti ini melimpah
ruah yang mengalir untuk kas negara. Kebijakan Dinasti di bidang ekonomi lainnya
adalah menjamin keadaan aman untuk laiu lintas darat dan laut, lalu lintas
darat melalui jalan Sutera ke Tiongkok guna memperlancar perdagangan sutera,
keramik, obat-obatan dan wewangian, sedangkan lalu lintas laut ke arah
negeri-negeri belahan untuk mencari rempah-rempah, bumbu, kasturi, permata, logam mulia, gading, dan bulu-buluan. Keadaan demikian membuat
kota Basrah dan Aden di teluk Persi menjadi lalu lintas perdagangan dan
pelabuhan dagang yang ramai, karena kapal-kapal dagang dibawah lindungan armada
Islam yang menuju ke Syiria dan Mesir hampir tak pernah putus. Perkembangan
perdagangan ini telah mendorong meningkatnya kemakmuran Dinasti Umayyah.
Pada masa khalifah Abdul Malik, telah dirintis
industri kerajinan tangan berupa tiraz (semacam bordiran) yakni cap resmi yang
dicetak pada pakaian khalifah dan para pembesar pemerintahan, format tiraz
bertuliskan lafaz "La Ilaaha Ilia Allah". Guna memperlancar
produktifitas pakaian resmi kerajaan, maka Abdul Malik mendirikan pabrik-pabrik
kain, dan setiap pabrik diawasi oleh Sahib at Tiraz yang bertujuan mengawasi
tukang emas dan penjahit, menyelidiki hasil karya dan membayar gaji mereka.
3. Dinamika
Sosial
Seperti yang suda di jelaskan sebelumnya, pada masa
Dinasti Umayyah, bangsa Arab mendapatkan posisi terhormat dalam masyarakat. Pada umumnya, bangsa Arab merupakan tuan tanah hasil
rampasan perang. Adanya dua kelompok masyarakat yang membangun Daulat Umayyah
yakni bangsa Arab dan non-Arab, berpengaruh positif pada motivasi orang-orang
non-Arab untuk memeluk agama Islam. Kebijakan ini juga berpengaruh pada
perkembangan dan perluasan pemakaian bahasa Arab dengan cepat.
Salah
satu permasalahan yang pantas disebutkan pada masa pemerintahan Bani Umayyah
adalah munculnya penolakan para sahabat terhadap sikap Mua'wiyah yang mengubah
sistem sukses khalifah dari pemilihan terbuka menjadi kerajaan yang mewariskan
tahta kepada keturunan raja.
4. Intelektual dan Keagamaan
Di
zaman pemerintahan Abdul Malik terdapat banyak bahasa yang digunakan dalam
administrasi, seperti bahasa Persia, Yunani dan Qibti, namun atas usaha Salih
bin Abdur Rahman, sekretaris al Hajjaj, ia mencoba menjadikan bahasa Arab
sebagai bahasa administrasi dan bahasa resmi di seluruh negeri sehingga
perhatian dan upaya penyempurnaan pengetahuan tentang bahasa Arab mendorong
lahirnya ahli bahasa yaitu Sibawaihi dengan karya tulisnya al Kitab menjadi
pegangan dalam soal tata bahasa Arab.
Dalam
daerah kekuasaannya terdapat kota-kota pusat kebudayaan yaitu Yunani
Iskandariyah. Antiokia, Harran, dan Yunde Sahpur yang semula dikembangkan oleh
imuwan-ilmuwan Yahudi, Nasrani, dan Zoroaster Khalifah Khalid bir'i Yazid bin
Muawiyyah yang seorang orator dan berpikiran tajam berupaya menerjemahkan
buku-buku tentang astronomi, kedokteran dan kimia.
Khalifah
Walid bin Abdul Malik memberikan perhatian kepada bimarstan, yaitu rumah
sakit sebagai tempat berobat, perawatan orang sakit dan studi kedok-teran yang
berada di Damaskus, sedangkan khalifah Umar bin Abdul Aziz menyuruh para ulama
secara resmi untuk membukukan hadits-hadits Nabi, dan selain itu ia bersahabat
dengan ibn Abjar, seorang dokter dan Iskandariah yang kemudian menjadi dokter
pribadinya.[15]
Pengaruh lain dan ilmuwan Kristen itu adalah penyusunan ilmu pengetahuan secara sistematis, selain
itu berubah pula sistem hafalan dalam pengajaran kepada sistem tulisan menurut
aturan-aturan ilmu pengetahuan yang berlaku. Pendukung dalam pengembangan ilmu
adalah golongan non-Arab dan telaahnya pun sudah meluas sehingga ada
spesialisasi ilmu menjadi ilmu pengetahuan bidang agama, bidang sejarah, bidang
bahasa dan bidang filsafat. Ilmuwan itu antara lain Sibawaihi, al Farisi, al
Zujaj (ahli nahwu), al Zuhpy, Abu Zubair, Muhammad bin Muslim bin Idris dan
Bukhari Muslim (ahli Hadits) dan Mujahid bin Jabbar
(ahli tafsir).
5. Tali Ikatan Persatuan Masyarakat (Politik dan Ekonomi)
Ekspansi Islam yang berlangsung dari pertengahan abad
ke tujuh sampai permulaan abad ke delapan, salah satu hasilnya ialah
terintegrasinya daerah-daerah yang ditaklukkan itu dalam suatu kesatuan sosial
politik yang disebut Dunia Islam. Selanjutnya dunia Islam itu merupakan suatu
kawasan ekonomi yang terpadu dalam suatu jaringan pasaran bersama. Wilayah
inti meliputi daerah-dearah bekas kerajaan Persia, Imperium Bizantium di Suria
dan Mesir serta daerah-daerah Barbar di Mediterinian (Afrika Utara dan Spanyol)
itu, merupakan salah satu jaringan penting dari rute utama perdagangan
Internasional yang terbentang antara China dan Spanyol, dan antara Afrika Hitam
dengan Asia Tengah.
6. Kedudukan
Amir al-Mu’minin
Pada masa
ini Amir al-Mu’minin hanya bertugas sebagai khalifah dalam bidang temporal
sedangkan urusan keagamaan di urus oleh para ulama. Berbeda dengan Khulafa
al-Rasydun yang menguasai keduanya. Pada masa ini khalifah diangkat secara turun-temurun dari keluarga Umayyah.
7. Sistem Fiskal
Sumber uang
masuk pada Dinasti Bani Umayyah, pada umumnya seperti di zaman permulaan Islam.
Walaupun demikian ada beberapa tambahan seperti al-Dharaaib yaitu kewajiban
yang harus dibayar oleh warga negara dan terdapat pajak-pajak istimewa. Adapun
saluran uang keluarnya sama seperti permulaan Islam, seperti gaji para pegawai
dan tentara, serta biaya tata usaha negara, pembangunan pertanian termasuk
irigasi dan penggalian terusan-terusan, ongkos bagi orang-orang hukuman dan
tawanan perang, perlengkapan perang, serta hadiah-hadiah kepada para pujangga
dan para Ulama.
Pada masa Umayyah dicetak mata uang Muslimin secara teratur dan pembayaran
dengan mata uang ini, walaupun pada masa Umar bin Khattab sudah dicetak mata
uang kaum Muslimin namun belum begitu teratur seperti pada khalifah Abdul Malik
bin Marwan.
8. Interregnum (Masa Peralihan Pemerintahan) Umar bin
Abdul Aziz
Interregnum ini terjadi pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang mana pada
perintahan yang dulunya kejam, menekan rakyat dan sebagainya, menjadi kepada
masa yang damai, lemah, lembut dan makmur. Dengan kebijaksanaannya ini banyak
orang yang masuk Islam, dan mengadakan dialog dengan orang Syi’ah dan Khawarij
sehingga mereka puas dan tidak mengganggu lagi. Namun, kedamaian dan kemakmuran ini dimanfaatkan
oleh Bani Hasyim untuk membentuk gerakan bawah tanah. Gerakan ini terdiri dari
orang-orang Syi’ah dan keluarga Abbas. Gerakan inilah yang berhasil menumbangkan
Bani Umayyah nantinya.
9. Sistem
Peradilan
Kehakiman pada masa ini mempunyai dua ciri khas, yaitu pertama, qadhi
memutuskan perkara dengan ijtihadnya berdasarkan Nas. Kedua, kehakiman belum terpengaruh dengan politik.
10. Pembangunan Peradaban, Intelektual,
bahasa dan sastera Arab
Masa Bani
Umayyah ini merupakan peletak dasar pembangunan peradaban Islam yang nanti pada
masa Bani Abbas merupakan puncak dari peradaban Islam. Pada masa ini ilmu
Naqliyah mulai berkembang. Perkembangan yang saling menonjol adalah ilmu tafsir dan ilmu
hadits. Dan terjadi pengumpulan hadits pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz
yang dikumpulkan oleh ‘Ashim al-Anshari. Muncul juga ilmu Nahwu (tata bahasa
Arab) sehingga Sibawaihi menyusun al-kitab untuk memperlajari tata bahasa Arab.
Khalifah
Mu’awiyah memerinthkan karya-karya bangsa Yunani yang mengandung berbagai macam
Ilmu. Dengan demikian umat Islam pada masa ini mulai mengenal ilmu kedokteran,
ilmu Kalam, seni bangunan (architecture) dan sebagainya. Diantara peninggalan
seni bangunan yang terkenal sampai sekarang adalah Qubbah al-Sakhr (Dome of
the Rock) yang didirikan di Yerussalem pada 91 H pada masa pemerintahan
Khalifah Abdul Malik.
11. Sistem Militer
Pada masa
Dinasti Bani Umayyah orang masuk tentara kebanyakan dengan dipaksa atau
setengah dipaksa. Untuk menjalankan kewajiban ini dikeluarkan semacam
undang-undang wajib militer yang dinamakan Nidhamut Tajnidil Ijbary.
Politik ketentaraan dari Bani Umayyah, yaitu politik
Arab, di mana anggota tentara haruslah terdiri dari
orang-orang Arab atau unsur Arab. Maka dari itu mereka terpaksa meminta bantuan
kepada bangsa Barbari untuk menjadi tentara karena wilayah mereka yang luas
meliputi Afrika Utara, Andalusia, dan lain-lain.
a. Perluasan ke Asia Kecil
Dengan
armada laut yang terdiri dari 1700 kapal, lengkap dengan perbekalan dan
persenjataannya. Lalu Mu’awiyah menyerang pulau-pulau dilaut tengah sehingga
berhasil menduduki pulau Rhodes tahun 53 H dan pulau Kreta tahun 54 H. Kemudian
diserang kota Konstatinopel. Pulau-pulau ini dekat Cyprus yang telah
ditaklukkan pada zaman Usman. Penyerangan ini dipimpin oleh Janadah bin Abi
Umayyah. Kemudian mengepung kota Konstatinopel di bawah pimpinan Yazid bin
Mu’awiyah dan didampingi oleh pahlawan Islam yang berani seperti Abu Ayyub
al-Anshar, Abdullah ibnu Zuber, Abdullah ibnu Umar dan Ibnu Abbas. Pengepungan
ini selama 7 tahun (54-61 H). Abu Ayyub al-Anshar gugur pada peperangan ini.
Penyerangan pertama ini gagal karena ada pengkhianatan Loen Mar’asy.
b. Perluasan ke Timur
Ke arah
Timur dapat menaklukkan daerah Khurasan sampai ke sungai Oxus dan dari
Afghanistan sampai ke Kabul. Kemudian diteruskan pada zaman Abd. Malik di bawah pimpinan Al- Hajjaj ibn Yusuf. Kemudian dapat
menundukkan daerah Balkh, Bukhara, Khawarizan, Fergnana, dan Samarkand.
Selanjutnya pasukan Muslim juga samapi ke India serta dapat menguasai
Balukhistan, Sind, dan daerah Punjab sampai ke Multan (713 H).
c.
Perluasan ke Afrika Utara
Uqbah ibn Nafi’ al-Fahri telah menetap di Barqah setelah wilayah itu dikuasai. Oleh karena kemahiran dan keberaniannya, ia
mengalahkan armada Bizantium di daerah pantai, barbar dipedalaman, serta
Tripoli dan Fazzan.
Kekuatan
Maritim Islam menjadi lebih berkembang pada masa Umayyah timur. Pada masa
Khalifah al-Walid. Jenderal Thariq bin Ziyad dapat menyeberangkan ajaran Islam ke Spanyol. Pada tahun 95 H/ 713 M dapat membebaskan
rakyat Spanyol dan Eropa dari penindasan bangsa Visigoth (Gothik) Barat yang
telah berkuasa selama 300 tahun.[16]
12. Pemberontakan: al-Mukhtar ibn Ubaid
dan Abdullah ibn Zubair
Ketika
Yazid ibn Mu’awiyah naik tahta, sejumlah tokoh terkemuka Madinah tidak mau
menyatkan setia kepadanya. Yazid kemudian mendirim surat kepada Gubernur Madinah
meminta untuk memaksa penduduk mengambil sumpah setia kepadanya. Dengan cara
ini semua orang terpaksa tunduk kecuali Husein ibn Ali dan Abdullah ibn Zubair.
Pada tahun 680 M, Husein pindah dari Mekkah ke Kufah atas permintaan golongan
Syi’ah di Irak. Umat Islam di daerah ini mengakui khaifahnya adalah Husein.
Sehingga terjadi pertempuran dan tentara Husein kalah sedangkan Husein mati
terbunuh. Kepalanya dipenggal dan dikirim ke Damaskus, sedang tubuhnya dikubur
di Karbela.
Gerakan Syi’ah semakin keras, gigih dan tersebar luas.
Pemberontakan yang paling terkenal diantaranya adalah pemberontakan Mukhtar di
Kufah pada tahun 685-687 M. Walaupun dibantu oleh kalangan kaum Mawali di Persia, Armenia dan lain-lain, Mukhtar terbunuh oleh
pasukan oposisi lainnya yaitu gerakan Abdullah ibn Zubair.
Abdullah ibn Zubair baru secara terbuka menyatakan
khalifah setelah Husein bin Ali terbunuh. Tentara Yazid kemudian mengepung
Mekkah dan akhirnya terjadi pertempuran, pada pertempuran ini Abdullah bin
Zubair dikabarkan wafat, maka tentara Yazid kembali ke Damaskus. Gerakan Abdullah ini baru dapat dihancurkan pada masa khalifah Abdul Malik
pada tahun 693 M.
Adapun
prestasi
Dinasti Umayyah
1. Bidang Fisik
Dalam pembangunan fisik, pada Diansti Umayyah telah
didirikan pos-pos yang pada pemerintahan sebelumnya tidak ditemukan. Lebih
lengkapnya, dapat dikatakan bahwa beberapa prestasi Dinasti Umayyah dalam
pembangunan fisik adalah sebagai berikut:
a.
Membangun pos-pos serta menyediakan
kelengkapan peralatannya,
b.
Membangun jalan raya,
c.
Mencetak mata uang,
d.
Membangun panti asuhan,
e.
Membangun gedung pemerintahan,
f.
Memblingun masjid,
g.
Membangun rumah sakit, dan
h.
Membangun sekolah studi kedokteran.[17]
2. Perluasan Wilayah Kekuasaan Dalam hal perluasan wilayah, Dinasti Umayyah menjalankan ekspansi
sebagai berikut:
a.
Menguasai Tunis pada tahun 760 M di bawah
pimpinan Uqbah bin Nafi',
b.
Menguasai Khurasan hingga Lahore di sebelah
Timur,
c.
Menguasai Bizantium,
d.
Menguasai Rhodes dan pulau-pulau kecil
lainnya di Yunani,
e.
Di sebelah Barat, Dinasti Umayyah berhasil
menaklukkan Aljazair dan
f.
Maroko,
g.
Selanjutnya, Dinasti Umayyah berhasil
menaklukkan Andalusia yakni
h.
Toledo, Sevilla, Malaga, Elvira dan Cordova,
i.
Penaklukkan yang sama berlanjut hingga ke
Cadiz dan Calica,
j.
Menaklukkan Baikh, Bukhara, Khawarizm,
Farghana dan Samarqand,
k.
dan
l.
Menaklukkan India, hingga ke Brahmanabat.[18]
E. MASA KEMUNDURAN BANI UMAYYAH
Meskipun
kejayaan telah diraih oleh Bani Umayyah ternyata tidak bertahan lebih lama,
dikarenakan kelemahan-kelemahan internal dan semakin kuatnya tekanan dri pihak
luar.
Menurut
Dr. Badri Yatim, ada beberapa faktor yang menyebabkan Dinasti Umayyah lemah dan
membawanya pada kehancuran, yaitu sebagai berikut:
1.
Sistem
pergantian khalifah melalui garis keturunan adalah suatu yang baru bagi tradisi
Arab yang lebuh menentukan aspek senioritas, pengaturannya tidak jelas.
Ketidakjelasan sistem pergantian khalifah ini menyebabkan terjadinya persaingan
yang tidak sehat dikalangan anggota keluarga istana.
2.
Latar
belakang terbentuknya Dinasti Umayyah tidak dapat dipisahkan dari berbagai
konflik politik yang terjadi di masa Ali bin Abi Thalib. Sisa-sisa Syi’ah (para
pengikut Ali) dan Khawarij terus terjadi gerakan oposisi, baik secara terbuka
seperti di masa awal dan akhir maupun secara tersembunyi seperti di masa
pertengahan kekuasaan Dinasti Umayyah. Penumpasan terhadap gerakan-gerakan ini
banyak menyedot kekuatan pemerintah.
3.
Pada
masa kekuasaan Dinasti Umayyah, pertentangan etnis antara Suku Arabia Utara
(Bani Qais) dan Arab Selatan (Bani Kalb) yang sudah ada sejak zaman sebelum
Islam semakin runcing. Perselisihan ini mengakibatkan para penguasa Dinasti
Umayyah mendapat kesulitan untuk menggalang persatuan dan kesatuan. Disamping
itu, sebagian besar golongan Timur lainnya merasa tidak puas karena status
Mawali itu menggambarkan suatu inferioritas, ditambah dengan keangkuhan bangsa
Arab yang diperhatikan pada masa Bani Umayyah.
4.
Lemahnya
pemerintah daulah Dinasti Umayyah juga disebabkan oleh sikap hidup mewah di
lingkungan istana sehingga anak-anak khalifah tidak sanggup memikul beban berat
kenegaraan tatkala mereka mewarisi kekuasaan. Di samping itu, sebagian besar
golongan awam kecewa karena perhatian penguasa terhadap perkembangan agama
sangat kurang.
5.
Penyebab
langsung runtuhnya kekuasaan Dinasti Umayyah adalah munculnya kekuatan baru
yang dipelopori oleh keturunan Al-Abbas bin Abbas Al-Muthalib. Gerakan ini
mendapat dukungan penuh dari Bani Hasyim dan golongan Syi’ah, dan kaum Mawali
yang merasa dikelasduakan oleh pemerintah Dinasti Umayyah.
Beberapa
penyebab tersebut muncul dan menumpuk menjadi satu, sehingga akhirnya
mengakibatkan keruntuhan Dinasti Umayyah, disusul dengan berdirinya kekuasaan
orang-orang Bani Abbasiyyah yang mengejar-ngejar dan membunuh setiap orang dari
Dinasti Umayyah yang dijumpainya.
Demikianlah,
Dinasti Umayyah pasca wafatnya Umar bin Abdul Aziz yang berangsur-angsur
melemah. Kekhalifan sesudahnya dipengaruhi oleh pengaruh-pengaruh yang
melemahkan dan akhirnya hancur. Dinasti Bani Umayyah diruntuhkan oleh Dinasti
Bani Abbasiyyah pada masa khalifah Marwan bin Muhammad (Marwan II) pada tahun
127 H/744 M.[19]
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Masa kekhalifahan Bani Umayyah yang hanya berumur 89 tahun yaitun
di mulai pada masa Muawiyyah bin Abu Sofyan ini banyak mengalami kemajuan perkembangan
yang cukup pesat.
Pada masa Muawiyyah bi Abu Sofyan perluasan wilayah yang terhenti
pada masa khalifah Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib di lanjutkan
kembali.
Ekspansi
ke Barat secara besar-besaran di lanjutkan di zama Al-Walid bin Abdul Malik.
Masa pemerintahan Al Walid adalah masa ketentraman, kemakmuran, dan ketertiban.
Disamping
ekspansi kekuasaan Islam, Bani Umayyah juga banyak berjasa dalam pembangunan di
berbagai bidang. Muawiyyah bin Abu Sofyan mendirikan dinas pos dan
tempat-tempat tertentu dengan menyediakan kuda yang yang lengkap dengan
peralatanya di sepanjang dalam. Dia juga berusaha menertibkan angkatan
bersenjatan dan mencetak mata uang. Pada masanya, jabatan khusus seorang hakim
atau qodhi mulai berkembang menjadi profesi tersendiri. Qodhi adalah seorang
spesialis di bidangnya.
PENUTUP
Demikian makalh ini kami susun. Penulis menyadari dalam makalah ini
masih banyak sekali kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu,
kritik dan saran yang membangun dan kontruktif sangat di harapkan demi
kesempurnaan karya ilmiah selanjutnya. Semoga makalh ini dapat di jadikan
sumber referensi dan bermanfaat bagi pembaca yang budiman, Aamiin.
DAFTAR PUSTAKA
Hasymy,
A., Sejarah Kebudayaan Islam,Jakarta: Bulan Bintang, 1975.
Hitti,
Philip K., Dunia Arab, terj. Ushuluddin Hutagalung dan O.D.P Sihombing,
Bandung:
Sumur Bandung, tth
Suryanegara,Ahmad
Mansur , Api Sejarah, Bandung: Salamadani, 2012.
Amin,
Samsul Munir, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Amzah, 2010.
Nasution,
Harun, Islam Ditinjau Dari Beragai Aspeknya, Jakarta: UI Press,
1978.
Osman,
A.Latif, Ringkasan Sejarah,Jakarta: Widjaya, 1951.
Sunanto,
Musyrifah, Sejarah Islam Klasik, Jakarta: Prenada Media, 2010.
Sulasman
dan Suparman, Sejarah Islam di Asia dan Eropa, Bandung : Pustaka Setia ,
2013.
Souyb,
Jousouf, Sejarah Umayyah,Jakarta: Bulan Bintang, 1977.
Ahmad Syalabi, Mausu’at
al-Tarikh al-Islami
Muhammad
bin Jarir al-Thabari, Tarikh al-Umam wa al-Mulk
[1] Sulasman dan Suparman, Sejarah Islam di Asia dan Eropa,
(Pustaka Setia: Bandung, 2013), hlm. 127.
[2] Samsul Munir Amin, Sejarah
peradaban Islam, (Jakarta: Amzah, 2009), hlm.129.
[3]
Samsul Munir Amin, Sejarah
peradaban Islam, hlm.129.
[4] Imam Fu’adi, Sejarah
Peradaban Islam, hlm. 74.
[5] Ahmad Al-‘Usairy, Sejarah
Islam, (Jakarta: Akbar Media. 2013), hlm.188-189.
[6] Imam Fu’adi, Sejarah
Peradaban Islam, hlm. 75.
[7] Ahmad al-‘usairy, Sejarah
Islam, hlm. 189.
[10] Imam Fu’adi, Sejarah
Peradaban Islam, hlm. 77-78.
[13] Philip.K.Hitti, Dunia Arab, terj. Ushuluddin Hutagalung dan
O.D.P Sihombing (Bandung Sumur Bandung.tth) hlm.85
[14] Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari
Berbagai Aspeknya, (Jakarta, UI Press, 1978), jilid 1, hlm.61.
[16]Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah, (cet ke-5, Bandung:
Salamadani, 2012), hlm. 64-65
[17] Jousouf Souyb, Sejarah Umayyah (Jakarta: Bulan Bintang, 1977),
h.236
[18]A.Latif Osman, Ringkasan Sejarah (Jakarta: Widjaya, 1951),
h.99
[19]Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Amzah,
2010), hlm. 118-136.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar