BIOGRAFI IBNU THUFAIL
Nama
lengkap Ibnu Thufail ialah Abu Bakar Muhammad ibn Abd Al-Malik ibn Muhammad Ibn
Muhammad Ibn Thufail Al-Qaisyi, di Barat dikenal dengan abudecer. Ia adalah
pemuka pertama dalam pemikiran filosofis mawahhid yang berasal dari Spanyol.Ibnu Thufail lahir pada tahun 506
H/1110 M atau pada Abad VI H/XIII M di kota Guadix, Provinsi Granada. Keturunan
Ibnu Thufail termasuk keluarga suku arab yang terkemuka, yaitu suku Qaisy.
Karier
Ibnu Thufail bermula sebagai dokter praktik di Granada. karena ketenaran atas
jabatan tersebut, maka ia diangkat menjadi Sekretaris Gubenur di Provinsi itu.pada tahun 1154 M (549 H). Ibnu Thufail
menjadi sekretaris pribadi gubernur Ceuta dan Tangier, pengusaha muwahhid Spanyol pertama
yang merebut Maroko. Dan dia menjabat dokter tinggi dan menjadi qhadi di
pengadilan pada kholifah Mawahhid Abu Ya’qub Yusuf (558 H/1163 M-580 H./ 1184 M
)
Ibnu
Thufail adalah seorang dokter, filosof, ahli matematika dan penyair yang sangat
terkenal dari mawahhid spanyol, akan tetapi sedikit karya-karyanya yang di
kenal orang. Ibnu Khotib menganggap dua risalah mengenai ilmu pengobatan itu
sebagai karyanya. Al Bitruji (muridnya) dan ibnu rusyd percaya bahwa dia
memiliki gagasan-gagasan astonomis asli. Al-Bitruji membuat sangkalan atas
teori ptolemeos mengenai epicycles dan eccentric cirles, yang dalam kata
pengantar dari karyanya kitab Al-Hai’ah dikemukakannya sebagai sumbangan dari
gurunya Ibnu Thufail. dengan mengutip perkataan Ibnu Rusyd, Ibn Abi Usaibiah
menganggap fi al buqa’Al
maskunah wal-ghair Al maskunah sebagai karya Ibnu Thufail, tapi
dalam catatan ibnu rusyd sendiri acuan semacam itu tidak dapat ditemukan.Al-Marrakushi, yang ahli sejarah itu
mengaku telah melihat naskah asli dari salah satu risalahnya mengenai ilmu keTuhanan.
Miquel Casiri ( 1112 H/1710 M -1205 H/1790 M ) menyebutkan dua karya yang masih
ada: risalah Hayy ibn
Yaqzan dan asrar
Al hikmah Al mashariqiyah, yang disebut terakhir ini berbentuk naskah.kata pengantar dari asrar menyebutkan
bahwa risalah itu hanya merupakan satu bagian dari risalah Hayy Ibn Yaqzan, yang
judul lengkapnya ialah Risalah Hayy
Ibn Yaqzan fi Asrar Al hikamat Al mashariqiyah.
B.
Perkembangan Filsafat Pada Masa Ibnu Thufail
Pemikiran
dan hasil karya para tokoh Islam khususnya dalam bidang filsafat tentunya
sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial-budaya dan politik pada masanya, begitu
juga masa-masa sebelumnya. Karena pemikiran merupakan produk budaya dari sebuah
masyarakat, dimana seseorang itu hidup, tumbuh dan dibesarkan. Pada massa kekuasaan
Umayyah, Abad pertengahan, Islam pernah berjaya di Cordova Spanyol. Waktu itu
cordova menjadi salah satu pusat peradaban dunia.
Budaya
seni, sastra, filsafat dan ilmu pengetahuan berkembang disana. Tokoh-tokoh
besar Islam juga banyak yang lahir di sana. Seperti Ibnu Bajjah, Ibnu Masarrah,
Ibnu ‘Arabi, Ibnu Hazm, asy-Syathibi dan sejumlah tokoh lainnya. Mereka ini
berhasil menempatkan filsafat sebagai kajian yang berkembang disana. Seperti
yang dikatakan Abed al-Jabiri, para tokoh tersebut telah berhasil membangun
tradisi nalar kritis yang ditegakkan di atas struktur berfikir demonstratif
(nizham al-aql al-burhani). Atau yang kemudian dikenal sebagai “epistemologi
burhani”.
Oleh
karena itu, sebenarnya tradisi pemikiran filsafat sudah diterapkan sejak dinasti
Umayyah berdiri. Tradisi-tradis keilmuan lain, seperti syari’ah, mistis
(tasawuf), dan iluminis (Isyraqi) juga terus mengalami pekembangan.
Tradisi-tradisi keilmuan seperti inilah yang nantinya mempengaruhi pemikiran
Ibnu Thufail. Walaupun perkembangan keilmuan ini mengalami pasang-surut
mengikuti kondisi politik pemerintahan yang sedang berkuasa.
Kegiatan
intelektual di bidang filsafat dan ilmu pengetahuan mendapat perhatian penuh
pada masa khalifah al-Hakam al-Mustanshir Billah (961-976), putra dari khalifah
pertama, Abdurrahman ad-Dakhil. Pada masa ini juga dapat dikatan semaraknya
transmisi keilmuan dari Timur ke Barat. Karena setelah pendirian lembaga ilmu
pengetahuan tidak cukup menampung murid lagi, para cendikian muslim di Barat
berhijrah ke Timur yaitu mulai dari Mesir, syam, Hijaz, hingga ke Baghdad untuk
menuntut ilmu.
Al-hakam
sangat cinta dengan ilmu pengetahuan, sehingga ia bersedia menanggung biaya
untuk tujuan ekspedisi ke berbagai Negara. Itulah yang menjadi faktor utama
bagi kegemaran umat Islam untuk menuntut ilmu dan mendalami buku-buku filsafat.
Menyangkut hal ini, penulis sejarah filsafat dalam Islam, De Boer berpendapat
bahwa peradaban yang dicapai pada masa al-Hakam lebih megah dan lebih produktif
daripada yang dicapai oleh dunia Islam Timur.
Seiring
berjalannya waktu, sejarah mengatakan tidak selamanya zaman keemasan ini
berlangsung hidup. Setelah tampuk kekuasaan digantikan oleh putra al-Hakam,
Hisyam al-Mu’ayyid Billah. Karena dia lebih cenderung kepada pengetahuan
syari’at dan anti filsafat. Akhirnya kegiatan intelektual pun kembali fakum dan
ajaran filsafat kembali dikatan sesat.
Walaupun
kondisi sangat tidak mendukung, kegiatan menekuni filsafat dilakukan secara
sembunyi. Sampai akhirnya berdirilah dinasti al-Muwahhidin, dimana ketika
pemerintahan dipegang oleh Abu Ya’qub Yusuf al-Mansur (558-580 H) filsafat
mulai terlihat titik terangnya. Masa inilah Ibnu Thufail hidup dengan menekuni
bidang filsafat. Kedekatannya dengan penguasa, bahkan dipercaya sebagai dokter
dan penasehat pribadi khalifah, maka kegiatan filsafat mulai diterima kembali.
Tapi hanya dalam lingkungan istana atau terbatas pada kaum elit saja.
Masyarakat
masih menganggap filsafat sebagai ajaran yang sesat dan bertentangan dengan
agama Islam. Dalam situasi yang tidak kondusif inilah Ibnu thufail terus
menggali keilmuannya, sehinga lahir karyanya “Hayy ibnu yaqzhan”. Dan dapat
disimpulkkan mengapa Ibnu Thufail menggunakan bahasa symbol dalam karyanya
tersebut. Dengan bahasa yang sederhana, diharapkan masyarakat akan mudah
memahami dan lambat laun menerima filsafat sebagai kajian keilmuan. Bahkan
sebagai metode berfikir dan cara pandang hidup.
BAB III
Karya Besar Ibnu Thufail “Hayy ibn Yaqzhan”
Roman
filsafat Hayy ibnu Yaqzhan (si hidup anak si sadar) banyak menyita perhatian
para sastrawan dan filsuf Timur dan Barat sejak ditulis oleh Ibnu Thufail pada
abad ke-6 H (12 M). Hingga era kebangunan menyeluruh bangsa Arab modern. Naskah
roman filsafat hayy ibnu yaqzhan penulis bahas agar juga mendapatkan segenap
pemikiran Ibnu Thufail yang terkandung dalam kisah ini.
Hayy
ibn Yaqzhan merupakan kisah yang memuat berbagai aspek. Seperti pendidikan,
system pengetahuan, filsafat, tasawuf dan sastra. Dari aspek sastra misalnya,
karya ini mengandung nilai sastra yang sangat tinggi. Dengan segala bahasa
metaforis dan simbolisasi yang kuat dalam kisah ini. Dan tradisi sastra
tersebut sudah lama berkembang di dunia Timur lalu berkembang dan berpindah ke
bagian Barat dunia Islam dalam satu lintas generasi.
Dan
perlu diketahui bahwa subtansi gagasan yang di usung roman ini bukanlah sesuatu
yang sama sekali baru yang pernah ditulis. Yang berbeda dari karya ini adalah
bagaimana Ibnu Thufail menampilkan gagasan filsafat yang dikemas dalam bentuk
sebuah roman. Subtansi gagasannya sendiri adalah perjumpaan manusia dengan
“fitrah primordial”nya ditengah alam yang primitif, dan pengembaraan
intelektualnya yang mencapai kebenaran puncak tanpa pengaruh sosial sedikitpun.
Dengan
judul yang sama, sebenarnya Ibnu Shina juga pernah menggunakan roman ini
sebagai ilustrasi perjalanan manusia menuju pengetahuan sejati. Tapi Ibnu Shina
menempatkan tokoh hayy sebagai seorang kakek yang bijak dan mempunyai
pengetahuan luar bisa. Ibnu Shina juga menulis roman yang bertajuk sama yang
berjudul Salman wa Absal, tapi sudah hilang tak terlacak.
Kisah
Hayy ibn Yaqzhan dalam Risalah Ibnu Shina, bertujuan untuk menegaskan kekuatan
akal dan keutamaannya dari segala yang dimiliki manusia, termasuk naluri
instingnya, semua itu tunduk pada akal. Selain itu Ibnu Shina menunjukkan
bagaimana hubungannya dan koherensinya antara akal atas sampai bawah dengan
teorinya berkembangnya akal sampai sepuluh. Sedangkan dalam karyanya Ibnu
Thufail, lebih berkembang dengan tidak hanya mengandalkan akal sebagai pencari
pengetahuan sejati, tetapi juga intuisi.
Terkait
masalah yang terakhir itu, Aspek filsafat yang banyak dipengaruhi oleh Ibnu
Bajjah sebagai pendahulunya dan sebagai seorang filsuf rasionalis murni, juga
berperan penting karya Ibnu Thufail ini. Hal itu terlihat ketika Ibn Thufail
mengakui pentingnya kesendirian di dalam mengembangkan nalar teoritis. Namun
dia tidak puas terhadap peranan akal disitu. Dan dinilai oleh Ibnu Thufail
bahwa karya Ibnu Bajjah, Tadhir al-Mutawahhid ini sebagai karya yang kurang
sempurna . Inilah yang menjadi salah satu pemacu dalam menulis karya hay ibnu
yaqzhan.
Hal
lain yang dapat dijadikan latar belakang penulisan hayy ibn yaqzhan yaitu
ketidak puasan Ibnu Thufail terhadap jalan yang selama ini ditempuh oleh para
sufi, seperti al-Ghazali. Dan menegaskan bahwa metode iluminasi lebih tinggi
dan lebih valid dalam mencapai kebenaran sejati. Kalau sedikit berbalik ke
dunia timur, dimana seorang filosof yang bernama Suhrawardi juga menempatkan
Iluminasi sebagaimana yang paling utama. Walaupun keduanya secara jarak sangat
jauh dan tidak pernah ketemu.
Tokoh
utama dalam kisah ini adalah hay ibn yaqzhan sendiri. Dimana ia mengambarkan
atau perosnifikasi dari akal manusia sebagai instrument memahami alam sekitar.
Berangkat dari akal murni ini, hay naik dalam tingkat selanjutnya dalam menguak
rahasia alam ini. Yaitu melalui intuisi sebagai alat untuk melihat benda-benda
nonmateri yang lebih tinggi derajatnya. Untuk lebih mendalami is kandungan
dalam kisah hay ibn yaqzhan ini, perlu membaca ulang dan mengulas dulu isi
kisah tersebut. De.ngan analisis dan
tinjauan atasnya, akan lebih dipahami hikmah dan kandungannya
Buku
filsafat yang berjudul Hayyy
ibnu Yaqzhan (“kehidupan anak kesadaran”) karya ini memang sama
dengan buah karya ibnu Sina yang diakunya sendiri berisikan kebijaksanaan timur
(Orental Wisdom). Kebijaksanaan timur pulalah yang menjadi pokok pikiran Ibnu
Thufail dalam buku ini. Seperti diakui Ibnu Thufail, pokok pikiran ini bisa
diidentifikasi sebagai tasawuf yang kala itu ditolak oleh kebanyakan filosof
muslim termasuk Ibnu Bajjah. Diskursus rasional, menurut para filosof anti
tasawuf bertolak belakang dengan pengalaman mistis yang oleh para ahli diyakini
bersifat ektra rasional dan tak terperikan.
A.
Kisah Hayy Ibnu Yaqzhan
Sebelum
mengulas tentang kisah ini lebih lanjut, perlu diketahui bahwa kisah hay ibn
yaqzhan merupakan uraian terhadap rahasia-rahasia filsafat timur dari Ibnu
Shina. Seperti yang diungkapkan dalam muqaddimah, “saudaraku yang mulia dan
tulus engkau engkau memintaku untuk memaparkan sedapat mungkin rahasia-rahasia
kearifan Filsafat Timur yang pernah diajarkan oleh sang Mahaguru Abu ‘Ali Ibnu
Shina” .
Ada
dua (2) versi yang menceritakan awal perjalanan Hayy ibn Yaqzhan lahir ke alam
dunai.
Versi
Pertama :
Menceritakan
Hayy dilahirkan oleh seorang saudari raja yang dikawini Yaqzhan secara rahasia.
Karena ibu Hayy takut perkawinannya diketahui raja, maka setelah Hayy lahir
lalu diamsukkan ke dalam peti dan dihanyutkan ke laut. Kemudian Hayy terdampar
pada suatu pulau yang tidak dihuni manusia di kepulauan Hindia yang dilewati
khatulistiwa, yaitu pulau Waq-waq.
Versi
Kedua
Hayy
adalah “anak alam”. Satu kisah menyebutkan Hayy dibuahkan dari suatu pepohonan
yang tidak disebutkan jenisnya. Kisah lain menceritakan bahwa Hayy berasal dari
tanah yang memerah dari perut bumi, kemudian berproses menjadi seorang bayi.
Dalam keadaan bayi Hayy dipelihara oleh seekor kijang betina (al-dhabyu) yang
anaknya mati, sampai Hayy dapat mengenal lingkungan sekitarnya. Ia dikarunia
Allah kecerdasan yang luar biasa. Ia menemukan api, membuat berbagai alat,
perkakas dan senjata. Bahkan sanggup mengenal hakikat tertinggi di alam wujud
dan alam metafisik, ia dapat mengenal semua itu melalui jalan filsafat. Dan
jalan itulah yang mendorongnya berusaha melalui cahaya filosofis untuk mencapai
kesatuan dengan Tuhan. Bersatu-berhubungan-dengan Tuhan adalah pengetahuan
sempurna dan kebahagiaan tertinggi yang berkesinambungan dan abadi. Untuk
mencapai tujuan itu Hayy berusaha sekuat mungkin memisahkan akal pikirannya
dari dunia luar dan dari badannya sendiri dengan jalan merenung memikirkan Zat
Tuhan agar dapat berhubungan dengan-Nya tidak hanya itu ia beruasa terus
menerus selama 40 hari.
Ada
beberapa fase yang dilewati pada perjalanan Hayy ibn Yaqzhan :
Fase
Pertama :Hayy
dipelihara seekor kijang, hingga ia dapat belajar tindak tanduk dan bahasa
hewan sekelilingnya. Ia mulai menutupi tubuhnya, membuat tempat berteduh, dan
mempersenjatai dirinya. Bahkan, ia mulai menyimpan bahan makanan untuk
persiapan.
Fase
Kedua : Kijang
yang memeliharanya mati. Hayy berusaha untuk mengetahui penyebab kematian
kijang ini dan kematian binatang-binatang yang lainnya. Hasil penyelidikannya
menyimpulkan adanya jiwa (roh) yang merupakan daya sentral dan bersifat
immateri. Jiwa tersebut berfungsi sebagai penggerak jasad binatang-binatang.
Hayy menemukan hal itu setelah melakukan pembedahan terhadap mayat-mayat
binatang. Pada tahap ini pula ia mengetahui fungsi anggota badan dan daya yang
menggerakannya.
Fase
ketiga : Hayy
mulai mengetahui api, kegunaan dan sumbernya. Dari pemikirannya tentang itu, ia
sampai kepada kesimpulan tentang adanya kausalitas yang menyebabkan adanya
tertib alam dan akal budi.
Fase
Keempat : Hayy
mulai mengetahui kesatuan dan keberagaman pada jasad dan jiwa yang telah
diamatinya. Pada tahap ini, ia telah sampai kepada generalisasi dan klasifikasi
berdasarkan kesatuan dan keberagaman itu.
Fase
Kelima : Hayy
melihat ke atas dan memperhatikan benda-benda langit. Dari pengamatannya itu ia
mengetahui astronomi. Namun, yang lebih penting lagi, dengan melihat ketertiban
dan keteraturan serta pergerakan dan perubahannya, ia memikirkan kesamaan
dengan bumi atau makhluk bumi dan menyimpulkan kepastian adanya penggerak
tertentu yang sama untuk semuanya.
Fase
Keenam : Hayy menegaskan
bahwa perbedaan perjalanan antara jasad yang materi dengan jiwa yang immateri,
di samping manemukan kepastian adanya penggerak yang disebut wajib al-wujud. Menurutnya
asal alam materi itu tidak mungkin materi lagi. Karena jiwa demikian, tentulah
ada rangkaian materi yang tidak pernah berujung (tasalsul). Jadi, asal pertama
ini haruslah immateri dan wajib
al-wujud. Jasad itu berneda perjalanannya dengan jiwa. Jiwa yang
immateri itulah yang dapat mengetahui wajib al-wujud, dan selalu tunduk
kepada-Nya, dengan begitu jiwa tersebut akan abadi. Sebaliknya, jiwa yang tidak
mengenal dan tunduk kepada-Nya akan hancur. Hayy memikirkan hal seperti itu
hingga memasuki fase tujuh.
Fase
Ketujuh : Hayy
berkesimpulan bahwa Tuhan itu pasti baik dan bijaksana, sempurna, penuh rahmat,
dan menjadi tujuan setiap manusia. Karena itu, puncak kebahagiaan menurutnya
hanya dapat dicapai bila seseorang selalu berhubungan jiwanya dengan Tuhan
tanpa henti, selalu merenungkan dan memikirkannya serta melepaskan diri dari
dunia materi. Dengan perenungan yang demikian, seseorang akan sampai kepada
objek pengetahuan yang paling tinggi, yakni wajib
al-wujud tadi, dan itulah puncak yang senantiasa didambakan setiap
manusia.
Selanjutnya
Hayy terus-menerus menjalaninya, hingga ia merasa sangat mudah untuk
mencapainya. Sehingga ia bisa mencapai maqam ekstatisnya kapan pun ia mau dan
dapat meninggalkannya sewaktu ia memenuhi kebutuhan fisiknya. Disinilah
kesempurnaan pengetahuan sejati didapat. Ia ingin tetap berada dalam maqam yang
dicapainya sampai benar-benar tidak merasakan eksistensi dirinya. Ia terus
melakukan itu hingga memperoleh pengetahuan tentang esensi dirinya yang tidak
lain adalah esensiNya. Semua itu dapat diperoleh hanya melalui penyinaran
cahaya dari-Nya.
Hingga
akhirnya Hayy bertemu dengan absal seorang ahli tasawuf dari pulau seberang
yang sedang mencari hakikat agama dalam perenungan. Setelah akhirnya Hayy dan
Absal berteman, keduanya menemukan kecocokan dalam memahami makna hidup. Absal
pun semakin yaqin atas aqidah yang selama ini ia pegang teguh. Kisah Hayy Ibn
Yaqzan seakan-akan menghidupkan kembali pendapat Mu\’tazilah, bahwa akal
manusia begitu kuatnya sehingga ia dapat mengetahui masalah-masalah keagamaan
seperti adanya Tuhan, wajibnya manusia berterimakasih kepada Tuhan, kebaikan
serta kejahatan dan kewajiban manusia berbuat baik dan mejauhi perbuatan jahat.
Dalam hal-hal ini wahyu datang untuk memperkuat akal. Dan akal orang yang
terpencil di suatu pulau, jauh dari masyarakat manusia, dapat mencapai
kesempurnaan sehingga ia sanggup menerima pancaran ilmu dari Tuhan, seperti
yang terdapat dalam falsafat emanasi Al-Farabi dan Ibn Sina. Tapi Ibn Rusydlah
(1126-1198 M) yang mengarang buku Tahufut al-Tahafut sebagai jawaban terhadap
kritik-kritik Albpg-Ghazali yang ia uraikan dalam Tahafut al-Falasijah.
B.
Analisis Terhadap Kisah Hayy ibnu Yaqzhan
1.
Tahapan-tahapan Pemikiran dalam Hayy ibn Yaqzhan
Setelah
mencoba memaparkan secara ringkas kisah di atas, penulis dapat membaginya dalam
tiga tahapan dalam pencarian. Kisah hay ibn yaqzhan yang diawali dengan
perkembangan Hayy dalam beradaptasi dengan alam, belajar cara bertahan hidup,
hingga dia menemukan api. Hal itu termasuk tahap pertama dalam pencarian ilmu,
dengan memahami benda-benda sekitar dan mengetahui fungsinya.
Tahapan
ini dapat disebut dengan tahap pengetahuan empiris. Dimana pengetahuannya masih
terbatas dengan hal-hal yang terinderakan saja dengan pengamatan yang
sederhana. Dari apa yang diperolehnya itu, dia semakin berusaha meningkatkan
pengetahuannya. Memori-memori dari pengalaman pertamanya muncul seketika dia
memahami fungsi dan kegunaan api. Dia mampu mengingat kesan pengalamannya lalu
mengkorelasikan dengan pengalaman baru yang didapat.
Hayy
meneruskan pengamatannya pada semua jenis binatang, tumbuhan, bebatuhan, tanah,
air dan segalanya yang ada di alam bawah dengan segala sifat dan atributnya.
Tidak hanya itu, dia juga mengamati benda-benda angkasa denga segala siklus
yang dimilikinya. Hal tersebut menunjukkan adanya metode-metode berfikir yang
digunakan, yaitu metode eskperimentasi dengan komparasi sehingga menghasilkan
kesimpulan-kesimpulan deduktif.
Di
sini terlihat rasionalitas pemikiran filsafat Ibnu Thufail yang sangat kental.
Hal itu tentunya tidak lepas dai pengaruh Ibnu Bajjah sebagai filsuf rasional
murni. Pengetahuannya tentang alam dengan segala keberagamannya, pengetahuan
tentang binatang dengan segala spesiesnya, tentang angkasa dan sebagainya.
Membuat ia dapat kesimpulan bahwa semua itu ada sebabnya, yang mengaturnya dan
ada Wujud lain dibalik semua fenomena itu.
Inilah
tahadapan kedua dari pemikiran Ibnu Thufail yaitu tahapan pemikiran filsafat
rasionalis . Dari wilayah empiris lalu bergerak pada sesuatu yang tidak berbau
materi. Pada tahapan ini dia mendalami pencariannya dengan kontemplasi. Pemikirannya
pada wilayah ini terlihat juga ketika dia telah memahami bahwa alam ini ada
permulaannya, alam ini adalah sesuatuyang baru. Maka dari itu ada suatu proses
dari ada menjadi tiada. Proses itu memerlukan subyek yang sama sekali diluar
sifat yang diadakan.
Tahapan
terakhir dari perjalanan intelektual Ibnu Thufail dalam kisah Hayy Ibn Yaqzhan
adalah tahapan tasawuf mistis melalui jalan intuitif. Hal ini dapat dilihat
dari pencapaiannya ke titik penyaksian. Pencapaiannya dalam maqam tertinggi
dimana ia mendapatkan pengetahuan sejati. Kisah Hayy ibn yaqzhan sampai disini
mewakili pemikirannya tentang jalan mencari kebenaran tidak cukup sampai pada
pengetahuan teoritik dan penalaran rasio atau akal saja. Sebagaimana ia tidak
puas terhadap hasil pemikiran Ibnu Bajjah yang hanya berhenti disitu.
Maka
hal itu sesuai dengan pendapatnya,”manusia tidak akan pernah bisa mencapai
derajat tertinggi ini, kecuali apabila ia senantiasa memikirkan dzat-Nya, serta
membebaskan diri dari segala pikiran tentang segala sesuatu yang bersifat
indrawi”. Derajat inilah yang disebut olehnya sebagai derajatnya para sufi.
Selain itu, ini sebagai hasil ikhtiarnya dalam mendamaikan dua aliran pemikiran
yang sering dipertentangkan, yaitu pemikiran falsafah dan pemikiran sufi. Dua aliran
utama itu menggunakan metode berbeda dalam mencapai kebenaran, tetapi ternyata
keduanya dapat dipertemuka kembali. .
Mengenai
pemikiran iluminasi Ibnu Thufail direfleksikan ketika Hayy mengetahui adanya
kesamaan esensi antara dirinya, benda-benda alam sekitar dan benda yang ada di
langit. Esensi-esensi dipancarkan oleh satu esensi sejati yang tak terbatas.
Karena ketak terbatasan-Nya itu, Dia memanivestasikannya pada semua yang
beragam ini. Tentunya dengan jalan emanasi cahaya, dimana cahaya tertinggi tidak
dapat dilihat kecuali dalam keadaan bersih dan suci.
2.
Harmonisasi Agama dan Filsafat
Dalam
karya Ibnu Thufail “Hayy Ibnu Yaqzhan” juga terdapat pemikirannya, dimana ia
ingin menunjukkan adanya harmonisasi antara agama dan filsafat intuitifnya. Dua
disiplin yang sering kali dipertentangkan oleh para sarjana hingga kini.
Penjelasan diatas dapat dipahami ketika Hayy ibn Yaqzhan bertemu dengan Absal,
orang yang beragama dan ingin memahami agama dalam makna esoterisnya.
Dalam
kehidupan Absal sebelumnya, dia melihat agama yang dijalankan masyarakat hanya
dalam taraf ritual formal belaka. Dan hanya ditujukan agar kehidupan mereka
didunia lebih baik. Dengan bertemu Hayy, Absal mempunyai keyakinan kuat bahwa
agama juga harus dipahami sebagaimana ta’wil nya. Agar masyarakat tidak
terjebak dalam kecintaan duniawi.
Begitu
penting pemahaman antara keduanya. Filsafat merupakan suatu pemahaman akal
secara murni atas kebenaran dalam kosep-konsep dan imajinasi yang sesungguhnya,
serta tak dapat dijangkau oleh cara-cara pengungkapan konvensional. Agama
melukiskan dunia atas dengan lambang-labang eksoteris. Dia penuh dengan
perbandingan, persamaan, dan gagasan-gagasan antropomorfis, sehingga akan lebih
mudah difahami oleh orang lain, mengisi jiwa dengan hasrat dan menarik mereka
kepada kebajikan dan moralitas.
Filsafat
yang menggunakan persepsi rasa, nalar, dan intuisi sebagai dasar-dasarnya,
dapat menafsirkan lambang-lambang agama tentang konsep-konsep imajinasi murni
yang berpuncak pada suatu keadaan yang didalamnya terdapat esensi ketuhanan dan
pengetahuannya menjadi satu.
Seperti
pendapat Sohier el-Kalamawy dan Mahmoud Ali Kahky (1986) bahwa Ibnu Thufail
bertujuan perenungan yang murni rasional dan iman yang sejati merupakan sisi
dari sebuah mata uang yang sama, dan keduanya dapat membawa manusia dekat
dengan Tuhan dan bersatu secara mistikal dengannya. Oleh karena itu keduanya
harus dipelajari dan dipahami secara bersamaan.
BAB IV
Ajaran Filsafat Ibnu Thufail
1.
Tentang Dunia.
Salah
satu masalah filsafat adalah apakah dunia itu kekal, atau diciptakan oleh Tuhan
dari ketiadaan atas kehendak-Nya? dalam filsafat muslim, Ibnu Thufail, sejalan
dengan kemahiran dialektisnya, menghadapi masalah itu dengan tepat sebagaimana kant.tidak seperti pendahulunya, tidak menganut
salah satu doktrin saingannyapun dia tidak berusaha mendamaikan mereka.di lain pihak, dia mengecam dengan pedas
para pengikut aristoteles dan sikap-sikap teologis. Kekekalan dunia melibatkan
konsep eksistensi tak terbatas yang tak kurang mustahilnya dibandingkan gagasan
tentang rentangan tak terbatas.
Eksistensi
seperti itu tidak lepas dari kejadian-kejadian yang diciptakan dan karena itu
tidak dapat mendahului mereka dalam hal waktu, dan yang tidak dapat sebelum
kejadian-kejadian yang tercipta itu pasti tercipta secara lambat laun. begitu
pula konsep Creatio Ex Nihilo tidak dapat mempertahankan penelitiannya yang
seksama. Al-Ghazali, mengemukakan bahwa gagasan mengenai kemaujudan sebelum
ketidak maujudan tidak dapat dipahami tanpa anggapan bahwa waktu itu telah ada
sebelum dunia ada, tapi waktu itu sendiri merupakan suatu kejadian tak
terpisahkan dari dunia, dan karena itu kemaujudan dunia di kesampingkan.lagi, segala yang tercipta pasti
membutuhkan pencipta. Kalau begitu mengapa sang pencipta menciptakan dunia saat
itu bukan sebelumnya? apakah hal itu dikarenakan oleh suatu yang terjadi
atas-Nya? tentu saja tidak, sebab tiada sesuatupun sebelum dia untuk membuat
sesuatu terjadi atas-nya.apakah hal itu mesti bersumber dari suatu perubahan
yang terjadi atas sifat-nya? tapi adakah yang menyebabkan terjadinya perubahan
tersebut?
Karena itu Ibnu Thufail menerima baik pandangan mengenai kekekalan maupun
penciptaan sementara dunia ini.
2.
Tentang Tuhan.
Penciptaan
dunia yang berlangsung lambat laun itu mensyaratkan adanya satu pencipta, sebab
dunia tidak bisa maujud dengan sendirinya. juga sang pencipta bersifat
immaterial, sebab materi yang merupakan suatu kejadian dunia di ciptakan oleh
satu pencipta. di pihak lain, anggapan bahwa Tuhan bersifat material akan
membaca suatu kemunduran yang tiada akhir yang adalah musykil. oleh karena itu
dunia ini pasti mempunyai penciptanya yang tidak berwujud benda.dan karena dia bersifat immaterial, maka
kita tidak dapat mengenalinya lewat indra kita ataupun lewat imajinasi, sebab
imajinisasi hanya menggambarkan hal-hal di tangkap oleh indra.
Kekekalan
dunia berarti kekekalan geraknya juga, dan gerak sebagaimana di katakan oleh
aristoteles, membutuhkan penggerak atau penyebab efesien dari gerak itu.jika penyebab efesien ini berupa sebuah
benda, maka kekuatannya tentu terbatas dan karenanya tidak mampu menghasilkan
suatu pengaruh yang tak terbatas.oleh
sebab itu penyebab efesien dari gerak kekal harus bersifat immaterial. ia tidak
boleh di hubungkan dengan materi ataupun di pisahkan darinya, ada di dalam
materi itu atau tanpa materi itu, sebab penyatuan dan pemisahan, keterkandungan
atau keterlepasan merupakan tanda-tanda material, sedang penyebab efesien itu,
sesungguhnya lepas dari itu semua.
3.
Tentang Kosmologi Cahaya.
Ibnu
Thufail menerima prinsip bahwa dari satu tidak ada lagi apa-apa kecuali satu
itu. Manivestasi kemajemukan, kemaujudan dari yang satu dijelaskannya dalam
gaya new platonik yang monoton, sebagai tahap-tahap berurutan pemancaran yang
berasal dari caHayya Tuhan. Proses itu pada prinsipnya, sama dengan refleksi
terus menerus caHayya matahari kepada cermin. CaHayya matahari yang jatuh pada
cermin yang dari sana menuju ke yang lain dan seterusnya, menunjukkkan
kemajemukan . semua itu merupakan pantulan matahari dan bukan matahari itu
sendiri, juga bukan cermin itu sendiri, bukan pula suatu yang lain dari
matahari dan cermin itu.
Kemajemukan
caHayya yang dipantulkan itu hilang menyatu dengan matahari kalau kita pandang
sumber caHayya itu, tapi timbul lagi bila kita lihat dicermin, yang disitu
caHayya tersebut dipantulkan. Hal yang sama juga berlaku pada caHayya pertama
serta perwujudannya didalam kosmos.
4.
Epistimologi Pengetahuan.
Tahap
pertama jiwa bukanlah suatu tabularasa atau papan tulis kosong, imaji Tuhan
telah tersirat di dalamnya sejak awal, tapi untuk menjadikannya tampak nyata,
kita perlu memulai dengan pikiran yang jernih tanpa prasangka keterlepasan dari
prasangka dan kecenderungan sosial sebagai kondisi awal semua pengetahuan,
merupakan gagasan sesungguhnya dibalik kelahiran tiba-tiba Hayy di pulau
kosong. Setelah hal ini tercapai pengalaman, inteleksi dan ekstasi memainkan
dengan bebas peranan mereka secara berurutan dalam memberikan visi yang jernih
tentang kebenaran yang melekat pada jiwa. Bukan hanya disiplin jiwa, tapi
pendidikan indra dan akal yang diperlukan untuk mendapatkan visi semacam itu.
Kesesuaian antara pengalaman dan nalar, disatu pihak, dan kesesuaan antara
nalar dan intuisi, dipihak lain membentuk esensi epistimologi Ibnu Thufail.
Setelah
mendidik akal dan indra serta memperhatikan keterbatasan keduanya, Ibnu Thufail
akhirnya berpaling kepada disiplin jiwa yang membawa kepada ekstasi, sumber
tertinggi pengetahuan. Dalam taraf ini, kebenaran tidak lagi dicapai lewat
proses deduksi atau induksi, tapi dapat dilihat secara langsung dan intiutif
lewat caHayya yang ada didalamnya. Jiwa menjadi sadar diri dan mengalami apa
yang tak pernah dilihat mata atau didengar telinga atau dirasa hati orang
manapun. Tarap ekstasi tak terkatakan atau terlukiskan sebab lingkup kata-kata
terbatas pada apa yang dapat dilihat, didengar atau dirasa. Esensi Tuhan yang
merupakan caHayya suci hanya bisa dilihat lewat caHayya didalam esensi itu
sendiri yang masuk dalam esensi itu lewat pendidikan yang tepat atas indra,
akal serta jiwa. Karena itu pengetahuan esensi merupakan esensi itu
sendiri.esensi dan visinya adalah sama.
Karena itu Ibnu Thufail menerima baik pandangan mengenai kekekalan maupun penciptaan sementara dunia ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar