BIOGRAFI IBNU SINA
Nama lengkapnya Abu Ali al-husein ibn Abdullah
ibn al-Hasan ibn Ali ibn Sina. Ia dilahirkan di desa Afsyanah, dekat Bukhara,
Transoxiana (persia utara) pada 370 H (±980M). Ayahnya berasal dari kota balakh
kemudian pindah ke bukharah pada masa raja Nuh ibn manshur dan diangkat oleh
raja sebagi penguasa di kharmaitsan, satu wilayah di kota bukharah.
Ia mempunyai ingatan dan kecerdasan yang luar biasa
sehingga di usia 10 tahun telah mampu menghafal Al-Qur’an, sebagian besar sastra
arab, dan ia juga hafal kitab metafisika karangan aristoteles setelah di
bacanya empat puluh kali, kendatipun ia baru memahaminya setelah membaca ulasan
Al-Farabi[1].
Ibnu Sina mempelajari beberapa bidang ilmu pengetahuan,
antara lain[2]:
1) Ilmu ilmu agama
Dimulainya belajar Qur’an pada tahun 375 H, sewaktu
umur baru 5 tahun. Kemudian terus mempelajari ilmu-ilmu islam yamg lainnya
seperti tafsir, fikih, ushuluddin, tasawuf dan lainnya.
2) Ilmu-ilmu filsafat
Setelah umurnya mencapai 10 tahun dia sudah menguasai
ilmu-ilmu agama, ayahnya mulai menyuruhnya belajar ilmu falsafah dengan segala
cabangnya. Dia di suruh belajar kepada saudagar rempah-rempah untuk mempelajari
ilmu hitung india.
3) Ilmu politik
Tidak kurang pentingnya untuk diketahui, bahwa ilmu
politik sudah diperkenalkan kepada ibnu sina pada umur mudanya. Ayahnya adalah
tokoh terkemuka dari aliran “isma’iliyah” dari partai syi’ah. Pada waktu itu
pemimpin propogandis aliran tersebut yang berpusat di mesir di bawah
pimpinan Fathimiyah, sering kali berkunjung dan berunding dengan ayahnya, untuk
meluaska sayap partai itu ke daerah bukhara. Ibnu sina selalu disuruh duduk mendengarkan
segala uraian politik mereka. Saudaranaya Abdul harist mengikuti aliran
ayahnya, menjadi pengikut yang setia dari partai isma’iliyah, tetapi ibnu sina
tidak pernah tertarik dengan aliran itu.
4) Ilmu kedokteran
Di dalam tingkat terakhir, Ibnu Sina tertarik kepada ilmu
kedokteran. Dia mempelajari
ilmu itu sewaktu umurnya 16 tahun, dan dalam waktu 18 bulan (1½ tahun) selesailah ilmu itu ia
kuasainya.
Sewaktu berumur 17 tahun ia telah dikenal sebagai
dokter dan atas panggilan Istana pernah mengobati pangeran Nuh Ibn Mansur
sehingga pulih kembali kesehatannya. Sejak itu, Ibnu Sina mendapat sambutan
baik sekali, dan dapat pula mengunjungi perpustakaan yang penuh dengan
buku-buku yang sukar didapat, kemudian dibacanya dengan segala keasyikan.
Karena sesuatu hal, perpustakaan tersebut terbakar, maka tuduhan orang
ditimpakan kepadanya, bahwa ia sengaja membakarnya, agar orang lain tidak bisa
lagi mengambil manfaat dari perpustakaan itu[3].
B. Karya-Karya Ibnu Sina
Pada usia 20 tahun ia telah menghasilkan karya-karya
cemerlang, dan tidak heran kalau ia menghasilkan 267 karangan di antara
karangan nya yang terpenting adalah[4]:
1) Al – syifa’
latinnya sanatio (penyembuhan), ensiklopedi yang ter diri dari 18 jilid
mengenai fisika, metafisika dan matematika. Kitab ini di tulis ketika menjadi
mentri di Syams al-Daulah dan selesai masa ala’u al-Daulah di isfahan.
2) Al- Najah, latinnya
salus (penyelamat), keringkasan dari as-Syifa’.
3) Al-Isyaroh wa
al-tanbihah (isyarat dan peringatan), mengenai logika dan hikmah.
4) Al-Qonun fi
al-tibb, ensiklopedi medis dan setelah diterjemahkan dalam bahasa Latin
menjadi buku pedoman pada Universitas-Universitas di Eropa sampai abad XVII
5) Al-Hikmah
al-‘Arudhiyyah
6) Hidayah al-Rais li
al- Amir
7) Risalah fi al-Kalam
ala al-Nafs al-Nathiyah
8) Al-mantiq
al-Masyriqiyyin (Logika timur)
C.
Pemikiran Filsafat Ibnu Sina
1) Metafisika[5]
Berkaitan dengan metafisika, Ibnu Sina juga
membicarakan sifat wujudiyah yang terpenting dan yang mempunyai kedudukan diatas segala
sifat lain, walaupun esensi sendiri. Esensi, dalam faham Ibnu Sina terdapat
dalam akal, sedang wujud terdapat di luar akal. Wujudlah yang membuat tiap
esensi yang dalam akal mempunyai kenyataan diluar akal. Tanpa wujud, esensi
tidak besar artinya. Oleh sebab itu wujud lebih penting dari esensi. Tidak
mengherankan kalau dikatakan bahwa Ibnu Sina telah terlebih dahulu menimbulkan
falsafat wujudiah atau existentialisasi dari filosof - filosof lain.
Kalau
dikombinasikan, esensi dan wujud dapat mempunyai kombinasi berikut :
a)
Esensi yang tak dapat mempunyai wujud, dan hal yang serupa ini disebut oleh
Ibnu Sina yaitu sesuatu yang mustahil berwujud (mamnu’ul
wujud/impossible being). Contohnya, adanya sekarang ini juga kosmos lain di
samping kosmos yang ada.
b)
Esensi yang boleh mempunyai wujud dan boleh pula tidak mempunyai wujud. Yang
serupa ini disebut mumkin yaitu sesuatu yang mungkin berwujud tetapi
mungkin pula tidak berwujud (mumkinul wujud/ contingent being). Contohnya adalah alam ini yang pada mulanya tidak
ada kemudian ada dan akhirnya akan hancur menjadi tidak ada.
c)
Esensi yang tak boleh tidak mesti mempunyai wujud. Disini esensi tidak bisa
dipisahkan dari wujud. Esensi dan wujud adalah sama dan satu. Di sini esensi
tidak dimulai oleh tidak berwujud dan kemudian berwujud, sebagaimana halnya
dengan esensi dalam kategori kedua, tetapi esensi mesti dan wajib mempunyai
wujud selama - lamanya. Yang serupa ini disebut mesti berwujud (waibul
wujud/ necessary being) yaitu
Tuhan. Wajib al wujud inilah yang mewujudkan mumkin al wujud.
Dengan demikian, tuhan adalah unik dalam arti Dia
adalah Kemaujudan yang Mesti, segala sesuatu selain Dia bergantung kepada diri
dan keberadaan tuhan. Kemaujudan yang mesti itu harus satu. Nyatanya, walaupun
di dalam kemaujudan ini tak boleh terdapat kelipata sifat-sifat Nya. Tetapi
tuhan mempunyai esensi lain, tak ada antribut antribut lain kecuali bahwa Dia
itu ada, dan mesti ada. Ini dinyataka Ibn Sina dengan mengatakan bahwa esensi
tuhan identik dengan keberadaan Nya yang mesti itu. Karena tuhan tidak
berensensi maka Dia mutlak sederhana dan tak dapat di definisikan.
Ibn Sina adalah penganut faham emanasi Ia
berpendapat bahwa dari tuhan memancar akal pertama. Sekalipun tuhan terdahlu
dari segi zat, namun tuhan dan akal pertama adalah sama-sama azali. Selajutnya
ibn Sina berpendapat, berbeda dengan al farabi, bahwa akal pertama mempunyai
dua sifat: sifat wjib wujudnya sebagai pancaran dari Allah dan sifat mungkin
wujudnya jika di tinjau dari hakikat dirinya. Dengan demikian Ia mempunyai tiga
objek pemikiran:
a) Tuhan, Dari pemikiran tentang
tuhan timbul akal-akal
b) Dirinya sebagai wajib wujudnya, Dari
pemikiran ini timbul jiwa-jiwa
c) Dirinya sebagai mungkin wujudnya,
Dari pemikiran ini timbul langit-langit
2) Filsafat Jiwa[6]
Untukmembuktikan
adanya jiwa Ibn Sina mengajukan beberapa Argumen yakni:
a)
Argumen
Psikofisik
Untuk pembuktian ini Ibn sina mengatakan bahwa gerak
dapat di bedakan kepada gerak terpaksa, yakni gerak yang didorong unsur
luar. Dan gerak tidak terpaksa . gerak yang tidak terpaksa ada kalanya
terjadi karena hukum alam, seperti jatuhnya batu dari atas kebawah, ada juga
yang menentang hukum alam, seperti manusia berjalan di kulit bumi ini. Menurut
hukumm alam manusia harus diam di tempat karena mempunayi berat badan sama
dengan benda padat. Gerak di luar hukum alam ini tentu terdapat unsur
tertentu diluar tubuh itu sendiri.
b) Argumen
“Aku” dan kesatuan fenomena psikologis.
Untuk membuktikan argumen ini, Ibn Sina membedakan aku
sebagai jiwa, dan badan sebagai alat. Ketika seseorang mengatakan aku akan
tidur, maksudnya bukan ia akan pergi ke tempat tidur atau memejamkan mata dan
tidak menggerakkan badan, tetapi adalah seluruh pribadi yang merupakan
aku. Aku menurut pandangan Ibn Sina adalah bukanlah fenomena fisik, tetapi
adalah jiwa dan kekuatannya.
c)
Argumen
kelangsungan (kontinuitas).
Menurut Ibn Sina hidup rohaniah kita hari ini berkaitan
dengan hidup kita yang kemarin tanpa ada tidur atau kekosongan. Jadi hidup
adalah berubah dalam satu untaian yang tidak putus-putus.
d) Argumen manusia terbang di udara
Dalil ini adalah
yang terindah dari Ibnu Sina dan yang paling jelas menunjukkan daya kreasinya.
Meskipun dalil tersebut didasarkan atas perkiraan dan khayalan, namun tidak
mengurangi kemampuannya untuk memberikan keyakinan. Dalil tersebut mengatakan
sebagai berikut : “Andaikan ada seseorang yang mempunyai kekuatan yang penuh,
baik akal maupun jasmani, kemudian ia menutup matanya sehingga tak dapat
melihat sama sekali apa yang ada di sekelilingnya kemudian ia diletakkan di
udara atau dalam kekosongan, sehingga ia tidak merasakan sesuatu persentuhan
atau bentrokan atau perlawanan, dan anggota – anggota badannya diatur
sedemikian rupa sehingga tidak sampai saling bersentuhan atau bertemu. Meskipun
ini semua terjadi namun orang tersebut tidak akan ragu – ragu bahwa dirinya itu
ada, meskipun ia sukar dapat menetapkan wujud salah satu bagian badannya.
Bahkan ia boleh jadi tidak mempunyai pikiran sama sekali tentang badan, sedang
wujud yang digambarkannya adalah wujud yang tidak mempunyai tempat, atau
panjang, lebar dan dalam (tiga dimensi). Kalau pada saat tersebut
ia mengkhayalkan (memperkirakan) ada tangan dan kakinya. Dengan demikian maka
penetapan tentang wujud dirinya, tidak timbul dari indera atau melalui badan
seluruhnya, melainkan dari sumber lain yang berbeda sama sekali dengan badan
yaitu jiwa.
3) Falsafat Wahyu dan Nabi[7]
Akal manusia
terdiri empat macam yaitu akal materil, akal intelektual, akal aktuil,
dan akal mustafad. Dari keempat akal tersebut tingkatan akal yang terendah
adalah akal materiil. Ada kalanya Tuhan menganugerahkan kepada manusia akal
materiil yang besar lagi kuat, yang Ibnu Sina diberi nama al hads yaitu
intuisi. Daya yang ada pada akal materiil semua ini begitu besarnya, sehingga
tanpa melalui latihan dengan mudah dapat berhubungan dengan akal aktif dan
dengan mudah dapat menerima cahaya atau wahyu dari Tuhan. Akal serupa ini
mempunyai daya suci. Inilah bentuk akal tertinggi yang dapat diperoleh manusia
dan terdapat hanya pada nabi – nabi.
Jadi wahyu dalam
pengertian teknis inilah yang mendorong manusia untuk beramal dan menjadi orang
baik, tidak hanya murni sebagai wawasan intelektual dan ilham belaka. Maka tak ada
agama yang hanya berdasarkan akal murni. Namun demikian, wahyu teknis ini,
dalam rangka mencapai kualitas potensi yang diperlukan, juga tak pelak lagi
menderita karena dalam kenyataannya wahyu tersebut tidak memberikan kebenaran
yang sebenarnya, tetapi kebenaran dalam selubung simbol – simbol. Namun sejauh
mana wahyu itu mendorong ?. Kecuali kalau nabi dapat menyatakan wawasan
moralnya ke dalam tujuan – tujuan dan prinsip – prinsip moral yang memadai, dan
sebenarnya ke dalam suatu struktur sosial politik, baik wawasan maupun kekuatan
wahyu imajinatifnya tak akan banyak berfaedah. Maka dari itu, nabi perlu
menjadi seorang pembuat hukum dan seorang negarawan tertinggi – memang hanya
nabilah pembuat hukum dan negarawan yang sebenarnya.
4) Tasawuf[8]
Mengenai tasawuf, menurut ibnu sina tidak dimulai
dengan zuhud, beribah dan meninggalkan keduniaan sebagaimana yang dilakukan
oleh orang-orang sufi sebelumnya. Ia memulai tasawufnya dengan akal yang
dibantu oleh hati. Dengan kebersihan hati dan pancaran akal, lalu akal akan
menerima ma’rifah dari akal fa’al. Dalam pemahaman ibnu sina bahwa jiwa-jiwa
manusia tidak berbeda lapangan ma’rifahnya dan ukuran yang dicapai mengenai
ma’rifah, tetapi perbedaannya terletak kepada ukuran persiapannya untuk
berhubungan dengan akal fa’al.
Mengenai bersatunya tuhan dengan manusia atau
bertempatnya tuhan di hati manusia tidak diterima oleh ibnu sina, karena
manusia tidak bisa langsung kepada tuhannya, tetapi melalui perantara untuk
menjaga kesucian tuhan. Ia berpendapat bahwa puncak kebahagiaan itu tidak
tercapai, kecuali perhubungan antara manusia dengan tuhan saja. Karena manusia
mendapat sebagian pancaran dari perhubungan tersebut. Pancaran dan sinar ini
tidak langsung keluar dari allah, tetapi melalui akal fa’al.
Berkaitan dengan anggapan bahwa ittihad dapat membawa
bersatunya makhluk dengan penciptanya tidak dapat diterima akal sehat, karena
hal ini mengharuskan sesuatau menjadi satu dan banyak pada waktu yang sama.
Ibn Sina menggambarkan sebab atau wakil di mulai dengan
sebab ini. mutakallimun berpendapat bahwa pencipta alam adalah sebagai akibat
dari atau hasil dari tuhan yang bertindak sebagai pencipta. Pendapat ini digunakan berbagai istilah dalam bahasa
arab yang artinya sama dengan penciptaan, penghasilan, pembuatan, pekerjaan,
pembawaankepada wujud dan lain – lain. Seperti arsitek, sebelum arsitek membuat
rumah, rumah itu tidak ada, kalau rumah itu sudah ada berarti rumah itu sudah
tidak membutuhkan lagi wakil atau sebab untuk ada. Penciptaan alam oleh tuhan
berbeda dengan pembuatan sebuah rumah oleh arsitek :
a. Rumah kalau sudah dibangun ia tidak perlu lagi wakil,
sedangkan alam selamanya perlu wakil. Sesudah dia diciptakan,
ia butuh terus kepada tuhan.
b. Wakil adalah dalam waktunya mendahului dari rumah itu.
Dengan perkataan lain, sebab mendahului
perbuatan dalam segala perbuatan yang terjadi dalam alamTuhan adalah sebab yang
efisien dari alam, tidak perlu didahului oleh waktu. Dengan kata lain ibnu sina memandang antara sebab dan
akibat, walaupun bagaimana sebab itu, datang juga dari sebab.
Ibnu sina mengarang
sebuah karangan tentang Al-Isyk (Kehendak). Dia berkata : “kehendak adalah
unsur murni dari wujud. Kemudian wujud makhluk dijelmakan oleh kehendak dan
bersatu dengan dirinya sendiri atau wujud dan kehendaknya adalah sama”. Dalam
bagian ini ibnu sina berkata : “teranglah, bahwa dalam setiap makhluk
terdapat suatu kehendak batin. Kehendak batin ini dengan kebutuhannya menjadi
sebab dari penciptanya. Setiap unsure ditemani kehendak batin yang senantiasa
kelihatan padanya, yang menyebabkan wujudnya”. Pengertian ini menjadi bentuk
filsafat cahaya akal dari ibnu sina. Pendiriannya yang menolak gambaran tuhan
sebagai wakil sebab, memungkinkan orang tuk mempelajari pendiriannya tentang
Tuhan Maha Mengatur.
6) Tuhan Maha mengatur dan Maha Tahu[10]
Diterangkan dalam
kitab Al-Isyarat :”Maha tahu adalah perwakilan dalam undang alam semesta, dalam
pengetahuan abadi, dalam suatu waktu tertentu”. Undang pelimpahan tuhan dalam
bentuk hirarki dan kekhususan adalah dengan pelimpahan rasionil. Keterangan
tersebut menyebabkan orang dapat melihat bagaimana ibnu sina menguraikan
tentang sifat Maha Tuhan dan mengenai baik dan buruk. Orang akan merasa pesimis
dan memberikan uraiannya bahwa antara baik dan buruk, baiklah yang akan menang.
Tuhan menghendaki baik oleh karena itu ia menyempurnakan wujud-Nya. Makhluk
adalah baik dan kesempurnaan makhluk itu adalah terdapat dalam segala makhluk.
Karena segala kebaikan dan kesempurnaan datang dari tuhan. Sebab tuhan itu
mempunyai sifat Rahman dan Rahim, ia akan menjelma dalam setiap yang
dikuasaiNya.
Ibnu Sina
menggambarkan tentang pengertian benda itu sebagai seorang perempuan yang tidak
cantik yang memakai topeng sehingga dia tampak cantik sekedar untuk menutupi
ketidakcantikannya. Oleh karena itu, perempuan tidak dapat terpisah dari topeng
tersebut, topeng tersebut memberi kecantikan padanya. Tuhan sebagai puncak makhluk,
maka tuhan pula merupakan puncak rupa depan yang memberi nikmat. Kita harus mengenal tuhan sebagai wakil sebab. Nafsu adalah sebab akhir dari makhluk yang
mencoba memperoleh kesempurnaan dan kebaikan.
Undang alam semesta
adalah sebaik – baik undang makhluk, dan dunia kita adalah sebaik – baik alam
yang dapat difahamkan oleh otak manusia. Selama dunia ini tersusun dari
kebutuhan dan kemungkinan, dunia ini terjadi dari benda bentuk, potensi dan
hakikat, kejahatan selamanya aka nada, kejahatan lebih sedikit daripada
kebaikan dan kejahatan itu bersifat negative dan kebaikan itu bersifat positif.
Kejahatan timbul dari makhluk sendiri.
Pengetahuan manusia terbatas, dia tidak dapat mengerti
hikmah yang berada dalam kejahatan tuhan tidak melihat kepada sesuatu pendirian
kita yang terbatas, akan tetapi tuhan memandang secara keseluruhannya terletak
dalam aturan hirarki yang turun dari tuhan. Untuk membuktikan bahwa tuhan maha
mengetahui, ibnu sina pernah menghadapi tiga buah pernyataan yang berlawanan,
yaitu :
a. Tentang pendirian filsafat aristoteles yang mengatakan
bahwa tuhan berada diluar
alam.
b. Tesis Alqur’an yang mengatakan : “tuhan adalah maha
tahu akan segala yang tidak terlihat. Tidak ada sebutir atom atau lebih kecil
dari itu atau lebih besar di langit dan di bumi yang tersembunyi kepada-Nya, itulah
seterang – terangnya bukti” (Surat 34/4)
c. Tentang pendapat Plato dan Neoplatenis, yang
mengatakan bahwa tuhan adalah
prinsip pertama,
Yang Esa dan Dia jauh dari apa yang dapat disifatkan oleh pengetahuan , sebab
dengan meletakkan kepada Tuhan pengetahuan. Dia mempunyai sifat yang rangkap
yaitu tahu dan pengetahuan.
Dalam An-Najat ibnu
sina berkata : “Kebenaran pertama, jika ia tahu dirinya sendiri, dia tahu bahwa
Dia adalah dasar pertama dari makhluk dan segala sesuatu yang keluar
daripada-Nya”. Putusan paham ibnu sina diberikannya, bahwa ilmu Tuhan tentang
kekhususan adalah didasarkan pada pokok pelajaran sebab musabab. Segala sesuatu
berkehendak kepada hubungan sebab dan akibat.
7)
Pandangan Tentang Akal[11]
Menurut ibnu sina
akal merupakan suatu kekuatan yang terdapat dalam jiwa. Ada dua macam akal
yaitu : akal manusia dan akal aktif. Semua pemikiran yang muncul dari manusia
sendiri untuk mencari kebenaran disebut akal manusia. Sedangkan akal aktif
adalah semua pemikiran manusia yang mendatang kedalam akal manusia dari
limpahan ilham ke-Tuhanan. Ibnu sina juga terkenal dengan rumusannya yaitu :
akal (pemikiran) membawa alam semesta ini kedalam bentuk – bentuk. Rumusan ibnu sina diambil
alih oleh seorang pendeta Dominican Albertus Magnus (1206 - 1280) yang
dikemukakan di dunia barat.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Ibnu Sina (980-1037)
dikenal juga sebagai Avicenna di Dunia Barat adalah seorang filsuf,
ilmuwan, dan juga dokter kelahiran Persia
(sekarang sudah menjadi bagianUzbekistan). Beliau juga seorang penulis yang produktif dimana
sebagian besar karyanya adalah tentang filosofi dan pengobatan
Diantara karya dari ibnu sina yang terpenting adalah
1) Al – syifa’
latinnya sanatio (penyembuhan)
2) Al- Najah, latinnya
salus (penyelamat), keringkasan dari as-Syifa’.
3) Al-Isyaroh wa
al-tanbihah (isyarat dan peringatan), mengenai logika dan hikmah.
4) Al-Qonun fi
al-tibb, ensiklopedi medis dan setelah diterjemahkan dalam bahasa Latin
menjadi buku pedoman pada Universitas-Universitas di Eropa sampai abad XVII
5) Al-Hikmah
al-‘Arudhiyyah
6) Hidayah al-Rais li
al- Amir
7) Risalah fi al-Kalam
ala al-Nafs al-Nathiyah
8) Al-mantiq
al-Masyriqiyyin (Logika timur)
Ibnu sina juga mengemukakan pemikirannya tentang
filsafat,antara lain :
1) Filsafat Metafisika
2) Filsafat jiwa
3) Filsafat kenabian
4) Filsafat tasawuf
5) Hukum sebab musabab
6) Tuhan maha pengatur dan maha tahu serta
7) Pandangan hidup tentang akal
Tidak ada komentar:
Posting Komentar